Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi
โOrang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka jannah (surga-surga) yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.โ (At-Taubah:100)
Penjelasan Mufradat Ayat
โOrang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)โ, yaitu para pendahulu umat ini yang mereka bersegera dalam beriman, berhijrah, dan berjihad, serta menegakkan agama Allah.
โOrang-orang Muhajirinโ, yaitu orang-orang yang disebutkan sifatnya oleh Allah dalam firman-Nya:
โ(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.โ(Al-Hasyr: 8)
โOrang-orang Ansharโ, yaitu orang-orang yang telah disebutkan sifatnya oleh Allah dalam firman-Nya:
โDan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada memiliki keinginan di dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.โ (Al-Hasyr: 9)
Mereka semua tergolong ke dalam As-Sabiqunal Awwalun, yaitu orang-orang yang berinfaq sebelum Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) dan mereka juga orang-orang yang berperang, termasuk orang-orang berbaiโat di bawah pohon (Baiโat Ar-Ridhwan), yang jumlah mereka lebih dari 1.400 orang. (lihat Syarah Al-โAqidah Ath-Thahawiyah, Ibnu Abil โIzzi, 2/692)
โDan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baikโ, yaitu orang-orang yang mengikuti mereka dalam mengamalkan agama, baik dalam hal aqidah, perkataan, maupun amalan. Mereka adalah orang yang selamat dari celaan dan mendapatkan pujian serta kemuliaan yang paling afdhal dari Allah. Semoga kita termasuk di antara mereka. Amin. (Taisir Al-Kariim Ar-Rahman, karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Saโdi, hal. 350)
Penjelasan Ayat
Ayat Allah yang mulia ini merupakan salah satu di antara sekian banyak ayat yang menjelaskan keutamaan para shahabat gdan orang-orang yang berjalan di atas jejak mereka. Mereka mendapatkan keridhaan Allah, di mana puncak keridhaan tersebut adalah dimasukkannya seorang hamba ke dalam jannah-Nya yang telah dipersiapkan oleh Allah, yang di bawahnya mengalir sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya.
Sungguh indah apa yang dituliskan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya tatkala menjelaskan ayat ini. Beliau berkata: โSungguh Allah Yang Maha Agung telah mengabarkan bahwa Dia telah ridha kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta yang mengikuti mereka dengan baik. Maka celakalah orang yang membenci mereka, mencela mereka, atau membenci dan mencela sebagian mereka. Terlebih lagi terhadap pemimpin para shahabat setelah Rasulullah n dan yang terbaik serta termulia dari mereka yaitu Ash-Shiddiq Al-Akbar dan seorang khalifah yang mulia: Abu Bakar bin Abi Quhafah, sungguh Allah telah meridhainya.
Sesungguhnya ada satu kelompok yang hina dari kalangan Rafidhah yang memusuhi para shahabat, membenci mereka serta mencelanya -kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut. Ini menunjukkan bahwa akal mereka telah terbalik, hati mereka telah berubah. Di manakah keimanan mereka terhadap
Al Quran tatkala mereka mencela orang-orang yang telah Allah ridhai?
Adapun Ahlus Sunnah, mereka senantiasa menyebutkan keridhaan terhadap apa-apa yang telah Allah ridhai dan mereka mencela orang yang mencela Allah dan Rasul-Nya. Mereka bersikap wala terhadap orang yang ber-wala kepada Allah dan memusuhi orang yang memusuhi Allah. Mereka adalah orang yang muttabiโ (mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya-pen) dan bukan mubtadiโ (ahli bidโah). Mereka senantiasa mengikuti dan tidak mendahului. Mereka inilah kelompok Allah yang mendapatkan kemenangan dan hamba-hamba-Nya yang mukmin.โ (Tafsir Ibnu Katsir, 2/384-385, Maktabah Tijariyah)
Di dalam ayat yang mulia ini, Allah menyebutkan tiga tingkatan orang-orang yang mendapatkan kemulian: Kaum Muhajirin, kaum Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka. Untuk dua kelompok yang pertama, mereka telah berlalu. Adapun yang terakhir, masih terbuka jalan bagi siapa saja di kalangan umat ini yang ingin mendapatkan keselamatan.
Saโd bin Abi Waqqash berkata: โManusia terdiri dari tiga kedudukan. Telah berlalu dua kedudukan dan tersisa satu kedudukan. Maka perbaikilah amalan yang kalian lakukan agar termasuk dalam kedudukan yang masih tersisa.โ Lalu beliau membaca firman-Nya:
โ(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.โ (Al-Hasyr: 8)
โMereka adalah kaum Muhajirin, dan ini satu kedudukan.โ Lalu beliau membaca:
โDan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.โ (Al-Hasyr: 9)
Beliau berkata: โMereka adalah kaum Anshar, dan inipun satu kedudukan yang telah berlalu.โ Lalu beliau membaca:
โDan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: โYa Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.โ (Al-Hasyr:10)
Lalu beliau berkata: โSungguh telah berlalu dua kedudukan dan tersisa kedudukan ini. Maka perbaikilah amalan yang kalian lakukan agar termasuk dalam kedudukan yang masih tersisa, dengan beristighfar untuk mereka (kaum yang telah berlalu).โ (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2/484,dan Al-Lalikai dalam Syarah Ushul Iโtiqad, 2/2354, cetakan Darul Bashirah dan Darul Atsar)
Jangan Mencela Para Shahabat
Merupakan salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah memuliakan para shahabat dan tidak mencela mereka. Abu Bakar bin Abi Dawud As-Sajastani berkata dalam qashidah-nya:
Dan katakanlah dengan sebaik-baik ucapan terhadap seluruh para shahabat. Dan jangan kalian mencela, menyebut aib, dan mencercanya. Sungguh wahyu yang nyata telah menyebut keutamaan mereka. Dan dalam surat Al-Fath ada beberapa ayat yang memuji para shahabat
(lihat Siyar Aโlam An-Nubala, 13/235, cetakan Muassasah Ar-Risalah)
Rasulullah telah melarang umatnya untuk mencela para shahabat Nabi. Beliau bersabda:
โJanganlah kalian mencela para shahabatku. Demi (Allah) yang jiwaku berada ditangan-Nya, kalaulah salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, tidak akan menyamai satu mud (yang mereka infaqkan) dan tidak pula setengahnya.โ (Muttafaqun โalaihi dari hadits Abu Saโid Al-Khudri, dan riwayat Muslim dari hadits Abu Hurairah)
Sangat banyak atsar dari para ulama salaf yang menyebutkan larangan mencela para shahabat serta menyebutkan akibat dan hukuman bagi mereka yang melakukannya. Imamus Sunnah Ahmad bin Hambal berkata: โJika engkau melihat seseorang menjelek-jelekkan salah seorang shahabat Rasulullah, maka tuduhlah (curigailah) keislamannya.โ (Syarah Al-Lalikai, 2/2359)
Al-Lalika`i juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Al-Bahi, ia berkata: Ubaidullah bin โUmar (bin Al-Khaththab) mencela Al-Miqdad bin Al-Aswad, maka โUmar pun berkeinginan memotong lidahnya. Namun para shahabat berusaha membujuk beliau (agar tidak melakukannya), lalu beliau berkata: โBiarkanlah aku memotong lidah anakku, agar tidak seorang pun setelahku lancang dalam mencela seseorang dari shahabat Rasulullah n.โ (Syarah Al-Ushul, 2/2377)
Mughirah berkata: โJuga dikatakan: mencela Abu Bakar dan โUmar.โ (Syarah Al-Ushul, 2/2387)
Beliau juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Al-Harits bin โUtbah, bahwa seseorang yang mencela โUtsman (bin โAffan) dibawa kepada โUmar bin Abdul โAziz, lalu beliau bertanya: โApa yang menyebabkan engkau mencelanya?โ Dia menjawab: โAku membencinya!โ Beliau berkata: โEngkau membenci dan mencelanya?โ Lalu beliau memerintahkan agar dia dicambuk 30 kali. (Syarah Al-Ushul, 2/2383)
At-Thahawi berkata dalam membantah kaum Rafidhah dan Nawashib (kaum yang membenci โAli z): โKami mencintai para shahabat Rasulullah n dan kami tidak berlebih-lebihan dalam mencintai mereka. Kami tidak memusuhi seorangpun dari mereka, dan kami membenci orang yang membenci mereka dan (membenci orang) yang tidak menyebut mereka dengan kebaikan. Kami tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah agama, iman, dan ihsan. Membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan, dan melampaui batas.โ (Matan Ath-Thahawiyah, 2/689, bersama syarahnya).
Perhatikanlah sikap dan pendirian para ulama salaf dalam menyikapi orang yang mencela dan merendahkan para shahabat. Sungguh telah muncul pada akhir zaman ini, orang-orang yang apabila mereka hidup di zaman para ulama salaf, niscaya para ulama salaf itu akan mencela mereka, menegakkan hukum had atasnya, dan berlepas diri dari mereka.
Di antara orang yang menampakkan kebenciannya terhadap sebagian shahabat adalah Sayyid Quthb.
Dia berkata dalam salah satu kitabnya yang berjudul Kutub wa Syakhshiyyat: โSesungguhnya Muโawiyah dan temannya (yang bernama) โAmr (bin Al-โAsh) tidak mengalahkan โAli (bin Abi Thalib) karena mereka lebih memahami trik menarik perhatian atau lebih berpengalaman dalam melakukan tindakan yang bermanfaat dalam situasi yang tepat. Namun (disebabkan) karena mereka bebas dalam menggunakan senjatanya, sedangkan (โAli) harus terikat dengan akhlaknya dalam mencari berbagai cara dalam menghadapi pergolakan. Tatkala Muโawiyah dan temannya menggunakan kedustaan, penipuan, makar, kemunafikan, sogokan, dan menjual harga dirinya, sedangkan โAli tidak mampu condong kepada sesuatu yang sangat rendah itu, maka tidak mengherankan bila keduanya sukses dan โAli gagal. Namun kegagalan itu lebih mulia dari semua kesuksesan tersebut.โ (Kutub wa Syakhshiyyat hal. 242. Lihat pula Ijmaโ Al-โUlama โala At-Tahdzir, Khalid Azh-Zhafiri hal. 73)
Lihatlah sikap Sayyid Quthb dalam menyikapi dua shahabat yang mulia ini. Apakah pantas seorang yang dianggap sebagai daโi pembela Islam, tokoh kebangkitan โmenurut mereka yang memiliki sikap fanatik kepada tokoh iniโ mengeluarkan lafadz-lafadz kotor dan menisbahkannya kepada para shahabat yang mulia g? Sungguh ini merupakan kezaliman yang nyata.
Asy-Syaikh Abdul โAziz bin Abdullah bin Baz telah ditanya tentang makalah ini, maka beliau menjawab: โPerkataan kotor, perkataan kotor, karena ini mencela Muโawiyah dan โAmr bin Al-โAsh. Semua ini ucapan kotor, ucapan mungkar. Muโawiyah dan โAmr adalah mujtahid dan mereka bersalah. Para mujtahid yang bersalah, Allah memaafkan mereka.โ
Lalu beliau ditanya lagi: โSemoga Allah memberikan kebaikan kepadamu, apa yang dicegah dari kitab-kitab ini yang terdapat perkataan semacamnya?โ Beliau menjawab: โSepantasnya disobek.โ (lihat kitab Ijmaโ Al-โUlama, Khalid Azh-Zhafiri hal. 74)
Perhatikanlah fatwa Asy-Syaikh bin Baz ini, lalu bandingkan dengan ucapan para Quthbiyyun dan Sururiyyun yang menampakkan pembelaannya terhadap Sayyiq Quthb, dengan berbagai alasan yang dipaksakan: โKita harus ber-muwazanah,โ โIni adalah kezaliman terhadap Sayyid Quthb,โ โBeliau seorang sastrawan,โ dan seterusnya. Maka anda akan melihat perbedaan yang sangat jauh antara sikap seorang Salafi dengan seorang โkhalafiโ. Benarlah apa yang dikatakan oleh seseorang:
Setiap kebaikan dalam mengikuti Salaf, Dan setiap keburukan dalam mengikuti khalaf
Wallahul muwaffiq.
Sumber : www.asysyariah.com/keutamaan-shahabat-dalam-al-quran/