Search This Blog

Sunday 6 August 2017

TADABUR AL QURAN - SURAH YASIN - AYAT 7

📖 Ayat ke-7 Surat Yaasin.

لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلَى أَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

🍃 Arti Kalimat: Sungguh telah berlaku ketetapan adzab bagi kebanyakan mereka, sehingga mereka tidak beriman.

☝️ Allah telah menakdirkan dalam catatan Lauhul Mahfudzh bahwa kebanyakan orang-orang kafir Quraisy itu tidak akan beriman. Hal ini dijelaskan dalam banyak penjelasan Ulama’ Tafsir seperti Ibnu Jarir atThobary, al-Qurthuby, dan yang lain.

🔰 Allah Maha Mengetahui bahwa kebanyakan mereka tidak akan beriman, meski banyak dan berlimpah bukti maupun tanda-tanda yang disampaikan. Allah tidak memberi hidayah kepada mereka. Allah Maha Mengetahui siapa saja yang berhak untuk mendapatkan hidayah, dan siapa yang berhak untuk disesatkan.

✅ Siapa saja yang mendapatkan hidayah, maka dia mendapatkan hidayah karena fadhilah (kelebihan kebaikan) dari Allah.

💥 Siapa saja yang tidak mendapatkan hidayah, maka ia memang berhak untuk tidak mendapat hidayah, dengan keadilan Allah.

🔵 Allah tidak akan pernah sedikitpun salah dalam memberikan hidayah kepada yang tidak berhak.

...إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اهْتَدَى

🍃 Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang Paling Mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya dan Dia Paling Mengetahui siapa yang (berhak) mendapatkan hidayah (Q.S anNajm ayat 30).

📝 Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah menyatakan: Allah Azza Wa Jalla melihat ke hati para hamba. Barangsiapa yang berhak mendapatkan hidayah, Allah akan beri hidayah kepadanya. Barangsiapa yang tidak layak mendapatkannya, Allah tidak memberi hidayah kepadanya.
Allah melihat ke hati para hamba.

🔎 Sebagaimana Allah memilih siapa yang terbaik hatinya untuk menjadi Rasul dan siapa yang terbaik hatinya untuk menjadi para Sahabat Rasul. Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu menyatakan:

إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ

🍃 Sesungguhnya Allah melihat pada hati para hamba. Kemudian Dia mendapati hati Muhammad shollallahu alaihi wasallam adalah hati terbaik di antara hambaNya. Maka Allah pilih untuk DiriNya, Allah utus beliau dengan risalahNya. Kemudian Allah melihat pada hati para hamba (yang lain) setelah hati (Nabi) Muhammad. Allah mendapati hati para Sahabatnya adalah sebaik-baik hati para hambaNya. Maka Allah jadikan mereka sebagai menteri (penolong) Nabinya, yang berperang di atas agamaNya. Maka apa yang dilihat oleh kaum muslimin (para Sahabat Nabi) sebagai kebaikan, maka itu adalah kebaikan di sisi Allah, dan apa yang mereka lihat sebagai keburukan, maka itu buruk di sisi Allah (H.R Ahmad no 3600, alBazzar no 1816 dihasankan oleh Syaikh al-Albany).

🌺 Karena hidayah taufiq satu-satunya di Tangan Allah, maka wajib bagi kita untuk ikhlas, bertawakkal dan tunduk sepenuhnya hanya kepada Allah memohon hidayah dan kekokohan di atas hidayah, karena Dialah Pemilik satu-satunya.

🌹 Allah menakdirkan sesuatu, dan juga menakdirkan penyebab-penyebab ke arah sesuatu. Allah menakdirkan suatu pihak dapat petunjuk dan Allah menakdirkan penyebab-penyebab pihak tersebut bisa mendapatkan petunjuk.

🌏 Allah telah memberikan penjelasan-penjelasan yang gamblang tentang jalan-jalan yang bisa ditempuh untuk mendapatkan petunjuk, dan juga menjelaskan hal-hal yang bisa menyebabkan seseorang menyimpang dari jalanNya.

💐 Allah akan menolong dan memberi petunjuk kepada orang-orang yang berjuang di jalanNya.

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

🍃 Dan orang-orang yang berjuang di (jalan) Kami, sungguh Kami akan beri petunjuk pada jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat ihsan (kebaikan)(Q.S al-Ankabuut ayat 69).

🌠 Mengikuti jalannya para Sahabat Nabi yang beriman bersama Nabi, akan menjadi penyebab mendapatkan petunjuk.

فَإِنْ آَمَنُوا بِمِثْلِ مَا آَمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا...

🍃 Jika mereka beriman sebagaimana iman kalian (wahai para Sahabat Nabi), maka sungguh mereka akan mendapatkan petunjuk (Q.S al-Baqoroh ayat 137).

📛 Sebaliknya, bagi orang yang suka menyimpang, Allah akan simpangkan hatinya, sebagai balasan baginya.

...فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِين

🍃 Ketika mereka menyimpang, Allah simpangkan hati mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik (Q.S as-Shaff ayat 5).

🚨 Orang yang memilih menyelisihi jalan Rasul setelah jelas baginya petunjuk, Allah akan palingkan ia semakin jauh dari al-haq, maka ia semakin menyimpang.

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

🍃 Dan barangsiapa yang menyelisihi Rasul, setelah jelas baginya petunjuk dan mengikuti jalan selain jalan kaum beriman, maka Kami akan palingkan ia (ke arah berpalingnya) dan Kami masukkan ia ke Jahannam, dan Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali (Q.S anNisaa’ ayat 115).

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

TADABUR AL QURAN - SURAH YASIN - AYAT 5-6

Ayat Ke-5 Surat Yaasin

👈(5) تنْزِيلَ الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ

🍃 Arti Kalimat: (al-Quran ini) diturunkan (oleh) Yang Maha Mulya lagi Maha Penyayang.

☝️ Ayat ini menunjukkan bahwa al-Quran itu diturunkan oleh Allah. Penggunaan kata ‘diturunkan’ menunjukkan salah satu dari sekian banyak sisi pendalilan dalam al-Quran bahwa Allah itu berada di atas. Menunjukkan ketinggian Allah. Al-Quran adalah Kalam Allah dan bukan makhluk, sebagaimana akidah yang disepakati Ulama Ahlussunnah.

💐 Penggunaan lafadz ‘tanzil’ yang merupakan bentuk masdar dari kata ‘nazzala’ menunjukkan bahwa al-Quran itu diturunkan secara berangsur-angsur, tidak sekaligus.

 وَقُرْآَنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا

🍃 Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian (Q.S al-Israa’ ayat 106).

🌹 Al-Quran itu diturunkan dari sisi Yang Maha Mulya lagi Maha Penyayang.

🌏 Allah sebutkan SifatNya, yaitu Yang Maha Mulya (al-Aziiz). Allah Maha Mulya dalam 3 keadaan:

1⃣. Maha Mulya dalam kedudukanNya (izzatul Qodr), artinya Allah memiliki kedudukan yang tinggi dan agung.

2⃣. Maha Mulya dalam hal mengalahkan (izzatul Qohr), artinya tidak ada satu pihakpun yang bisa mengalahkan Allah, justru semuanya tunduk di bawah kekuasaanNya.

3⃣. Izzatul imtina’. Allah tidak akan pernah tersentuh dengan keburukan sedikitpun. Tidak ada satupun yang bisa menimbulkan mudharat/ berbuat buruk kepada Allah.

✅ Dalam ayat ini juga Allah sebutkan sifatNya Yang Maha Penyayang (arRohiim). Al-Quran diturunkan dari sisi Yang Maha Mulya lagi Maha Penyayang.

❓Mengapa Allah menyebutkan 2 Sifat ini ketika menyebutkan diturunkannya al-Quran?

▶️ Untuk mengingatkan manusia bahwa al-Quran itu diturunkan oleh Dzat Yang Maha Mulya, maka hati-hatilah kalian, wajib bagi kalian berpegang teguh dengan al-Quran, karena jika tidak….kalian akan berhadapan dengan Yang Maha Mulya yang Tak Terkalahkan saat mengadzab sesuatu.

⏩ Selain itu, al-Quran diturunkan oleh Yang Maha Pengasih. Ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa salah satu bentuk kasih sayang Allah yang terbesar adalah diturunkannya al-Quran. Dengan al-Quran, menjadi hiduplah hati dan badan. Dengan al-Quran menjadi baiklah pribadi manusia dan masyarakatnya.

➖➖➖➖➖➖➖➖➖

 Ayat Ke-6 Surat Yaasin

( لتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أُنْذِرَ آَبَاؤُهُمْ فَهُمْ غَافِلُونَ(6

🍃 Arti Kalimat: Agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang ayah-ayah mereka tidak mendapat peringatan (sebelumnya) sehingga mereka lalai.

🌏 Allah turunkan al-Quran dan mengutus Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam agar memberi peringatan kepada kaumnya, yaitu bangsa Arab yang sudah sangat lama tidak mendapatkan nasehat, ilmu, dan peringatan-peringatan sejak Nabi Ismail ‘alaihissalam. Karena sudah sedemikian lamanya masa (perkiraan lebih dari 2000 tahun) sejak meninggal Nabi Ismail hingga diutusnya Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam.

🍂 Sehingga ajaran Nabi Ismail sudah banyak mereka ubah, bercampur baur dengan penyimpangan-penyimpangan dan kesyirikan. Orang-orang Arab pada waktu itu mengenal Allah, bahkan tidak jarang di antara mereka yang bersumpah dengan atas nama Allah, mereka juga berhaji dan menyembah Allah, namun persembahan ibadah mereka itu tidak murni hanya untuk Allah semata, tapi juga dibagi (diserikatkan) dan ditujukan juga ke berhala-berhala yang mereka agungkan dengan tujuan untuk mendekatkan diri mereka atau memberi syafaat di sisi Allah.

✅ Ayat ini semakna dengan ayat lain dalam al-Quran :

...لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أَتَاهُمْ مِنْ نَذِيرٍ مِنْ قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

🍃…agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang sebelummu tidak ada pemberi peringatan yang datang kepada mereka, agar mereka menjadi ingat (Q.S al-Qoshosh ayat 46).

...لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أَتَاهُمْ مِنْ نَذِيرٍ مِنْ قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ

🍃…agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang sebelummu tidak ada pemberi peringatan yang datang kepada mereka, agar mereka mendapatkan petunjuk (Q.S al-Qoshosh ayat 46).

🔰 Pada ayat ke-6 surat Yaasin ini Allah menjelaskan bahwa karena lamanya kaum Arab tidak mendapat peringatan, mereka kemudian menjadi lalai (fa hum ghofiluun).

🚨 Ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa seseorang akan terjatuh dalam sikap lalai, lupa, dan menyimpang jika lama tidak ada yang mengingatkan dengan peringatan dalam al-Quran dan hadits-hadits Nabi. Semakin jauh dan lama seseorang dari majelis ilmu Ahlussunnah dan kajian-kajian melalui audio atau tulisan, maka ia akan semakin lalai dan mudah terperosok dalam pelanggaran-pelanggaran syar’i.

💡 Apakah Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam hanya diutus kepada bangsa Arab saja? Diperjelas dalam ayat lain bahwa beliau diutus kepada seluruh manusia:

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

🍃 Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian seluruhnya…(Q.S al-A’raaf: 158).

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا

🍃 Maha Suci (Allah) Yang menurunkan al-Furqon kepada hambaNya untuk menjadi peringatan bagi seluruh alam (Q.S al-Furqon ayat 1).

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

TADABUR AL QURAN - SURAH YASSIN - AYAT 1-4


(1) يس 

Kata Yaasiin adalah gabungan huruf ya’ dan sin dalam abjad Arab. Sama seperti beberapa awalan dalam surat lain yang diawali dengan gabungan beberapa huruf yang terpotong, seperti الم , حم, كهيعص dan semisalnya.

Pendapat yang rajih (lebih kuat), seperti yang dipilih oleh Syaikh Ibn Utsaimin bahwa kata Yaasin dalam bahasa Arab tidaklah memiliki makna. Fungsi penyebutan huruf-huruf terpotong di awal surat-surat al-Quran adalah untuk menantang bangsa Arab pada waktu itu yang pandai menggubah syair-syair yang indah, bahwa sesungguhnya al-Quran tidaklah tersusun dari huruf-huruf yang baru, tapi ia tersusun dari untaian kalimat yang huruf-hurufnya juga kalian gunakan.

Ia tersusun dari huruf-huruf seperti ya’ dan sin, alif-lam-dan miim. Sama persis dengan yang kalian gunakan dalam percakapan kalian. Maka mampukah kalian menggubah suatu surat yang sama dengan al-Quran? Ternyata tidak mampu.

Jika kita perhatikan, hampir seluruh surat yang didahului oleh huruf-huruf terpotong tersebut setelahnya akan menyebutkan tentang al-Quran. Demikian yang dijelaskan oleh sebagian Ulama’, di antaranya Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah (salah seorang guru Ahli Tafsir, Ibnu Katsir rahimahullah).



(2) والْقُرْآَنِ الْحَكِيمِ 

Arti kalimat: Demi al-Quran yang al-hakiim

Allah bersumpah dengan al-Quran yang memiliki sifat al-hakiim.

Apa yang dimaksud dengan al-Hakiim? Syaikh Ibn Utsaimin mengisyaratkan adanya 3 unsur utama dalam kata hakiim, yaitu hukum, ihkaam, dan hikmah.

Pertama, al-Quran adalah sebagai sumber hukum. Ia menjadi hakim yang memutuskan perkara jika ada perselisihan.

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu hal, maka kembalikan kepada Allah (al-Quran) dan kepada Rasul (haditsnya), jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih baik dan akibatnya lebih baik (Q.S anNisaa’ ayat 59).

Kedua, mengandung makna ihkaam, yaitu pengokohan dan penyempurnaan.
Al-Quran dikokohkan dan dijadikan sempurna oleh Allah, sehingga tidak ada ayat dalam al-Quran yang bertentangan satu sama lain. Khabar-khabar dalam al-Quran adalah haq (benar dan jujur), hukum-hukumnya adil.

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

Tidakkah mereka mentadabburi (memikirkan dan menghayati) al-Quran? Kalau seandainya al-Quran berasal dari selain Allah, niscaya mereka akan dapati di dalamnya pertentangan yang banyak (Q.S anNisaa’ ayat 82).

وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا

Dan telah sempurna kalimat Tuhan kalian dalam hal kebenaran dan keadilan (Q.S al-An’aam ayat 115).

Orang yang berpegang teguh dengan al-Quran, akan dikokohkan dan dikuatkan.

Ketiga, mengandung makna hikmah. Hikmah adalah menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya. Hukum dalam al-Quran itu adil, sesuai dengan fitrah dan akal yang sehat. Secara global, akal akan menerima penjelasan dalam al-Quran.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di menjelaskan makna bahwa al-Quran adalah hikmah: meletakkan perintah dan larangan yang tepat dan sesuai, meletakkan balasan kebaikan dan balasan keburukan secara tepat dan sesuai.


( إنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ (3

Arti Kalimat: Sungguh engkau (wahai Muhammad) termasuk Rasul yang diutus
Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa Muhammad shollallahu alaihi wasallam adalah Rasul.

Kalimat pada ayat ke-3 ini nampak jelas adanya 3 penguatan/ penegasan, yaitu (i) huruf inna, (ii) huruf lam taukid, (iii) sumpah pada ayat sebelumnya.

Ayat ini adalah bantahan bagi kaum kafir Quraisy yang mengingkari dan mendustakan bahwa Muhammad shollallahu alaihi wasallam adalah seorang Rasul.

وَيَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَسْتَ مُرْسَلًا

Dan orang-orang kafir berkata: engkau (wahai Muhammad) bukanlah Rasul…(Q.S arRa’d ayat 43).

Ayat Ke-4 Surat Yaasin

( علَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (4

Arti Kalimat: berada di atas jalan yang lurus
Allah menjelaskan dalam ayat ini bahwa Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam berada di atas jalan yang lurus.

Dalam ayat yang lain, Allah menjelaskan bahwa beliau adalah pemberi petunjuk ke jalan yang lurus.

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

dan sesungguhnya engkau adalah benar-benar pemberi petunjuk (penjelasan) menuju jalan yang lurus (Q.S asy-Syuuro ayat 52).

Maka Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam berada di atas jalan yang lurus, sekaligus beliau adalah pemberi petunjuk menuju jalan yang lurus. Dalam setiap sholatnya, orang yang beriman selalu meminta diberi petunjuk ke jalan yang lurus. Maka ikutilah Sunnah Nabi (perbuatan, ucapan, dan persetujuan beliau), karena sesungguhnya itu akan mengantarkan kepada jalan yang lurus.

Jangan beribadah kepada Allah kecuali dengan petunjuk dan teladan yang dibimbing oleh Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Jangan mengada-adakan sesuatu yang baru dalam Dien ini (bid’ah/ Ahwaa’), karena itu akan menyimpangkan kita dari jalan yang lurus tersebut.

Abul ‘Aaliyah –seorang tabi’i- rahimahullah menyatakan:

تَعَلَّمُوا اْلإِسْلَامَ فَإِذَا تَعَلَّمْتُوُهُ فَلاَ تَرْغَبُوْا عَنْهُ وَعَلَيْكُمْ بِالصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ فَإِنَّهُ الْإِسْلاَم وَلاَ تُحَرِّفُوا اْلِإسْلَامَ يَمِيْنًا وَلَا شِمَالًا وَعَلَيْكُمْ بِسُنَّةِ نَبِيِّكُمْ وَالَّذِي كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُهُ وَإِيَّاكُمْ وَهَذِهِ الْأَهْوَاءَ الَّتِي تُلْقِي بَيْنَ النَّاسِ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ

Pelajarilah Islam. Jika kalian telah mempelajarinya janganlah membencinya. Hendaknya kalian berada di atas jalan yang lurus, yaitu Islam. Jangan menyimpang dari Islam ke kanan atau ke kiri. Wajib bagi kalian (berpegang) dengan Sunnah Nabi kalian yang diamalkan oleh para Sahabat beliau. Hati-hati kalian jauhilah hawa nafsu ini (kebid’ahan) yang akan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara manusia (diriwayatkan oleh al-Laalikaai dalam syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah wal Jamaah(1/56), Ibnu Wadhdhoh dalam al-Bida’, al-Ajurriy dalam asy-Syari’ah, al-Marwaziy dalam as-Sunnah).

Wednesday 12 July 2017

SEJENAK DENGAN HADITH 9

1 Hari 1 Hadis:
PERKONGSIAN 1 HARI 1 HADIS

Beriman Menuntut Memuliakan Tetamu dan Menyambung Silaturahim

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda: "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhirat, hendaknya ia memuliakan tetamunya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhirat, hendaklah ia menyambung tali silaturahim, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhirat, hendaknya ia berkata baik atau diam." (HR Bukhari No: 5673) Status: Hadis Sahih

Pengajaran:

1.  Memuliakan tetamu adalah antara syarat orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat.

2.  Menyambung hubungan silaturahim dengan kerabat adalah tanda orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat.

3.  Tanda orang beriman kepada Allah dan hari akhirat juga apabila bertutur atau bercakap, ia akan bertutur sesuatu yang baik dan mendatangkan pahala (termasuk sesuatu yang ditulis dan di forward).

4.  Jika sesuatu yang akan dituturkan atau yang ditulis dan di forward, mendatangkan mudarat dan keburukan, lebih baik kita berdiam diri. 

5. Muliakan tetamu dan sentiasa menyuburkan tali persaudaraan dan menyambung silaturahim.

Ambillah peluang sempena Syawal untuk mengeratkan silaturahim dengan ahli keluarga  melalui kunjung-mengunjung sesama kita. Jadikanlah tuturkata kita sesuatu yang berfaedah dan mendatangkan pahala.

SEJENAK DENGAN HADITH 8

1 Hari 1 Hadis:
PERKONGSIAN 1 HARI 1 HADIS

Memuliakan Tetamu

عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْكَعْبِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ فَمَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُحْرِجَهُ

Dari Abi Syuraih al-K'bi, Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhirat, hendaknya ia memuliakan tamunya dan menjamunya siang dan malam, dan bertamu itu tiga hari, lebih dari itu adalah sedekah baginya, tidak halal bagi tamu tinggal (bermalam) hingga mengeluarkannya." (HR Bukhari No:  5670) Status: Hadis Sahih

Pengajaran:

1.  Orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat sentiasa beradab terhadap tetamu yang datang ke rumahnya

2.  Memuliakan tetamu yang datang adalah dituntut antaranya dengan menyediakan jamuan atau makanan untuknya walaupun seteguk air.

3.  Tetamu yang berkunjung tidak boleh terlalu lama menjadi tetamu. Jika bermalam tidak boleh melebihi tiga malam.

4. Bulan Syawal menjadi kebiasaan dalam masyarakat untuk kunjung mengunjungi dan ziarah menziarahi. Ambillah peluang untuk mengukuhkan hubungan ukhuwah.

Terimalah tetamu dan muliakan mereka dengan menyediakan makanan dan minuman sebaiknya untuk tetamu.

SEJENAK DENGAN HADITH 7

1 Hari 1 Hadis:
PERKONGSIAN 1 HARI 1 HADIS

Puasa Sunat Enam Syawal 

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Dari Abu Ayyub Al-Ansari RA bahawa ia telah menceritakan bahawa Rasulullah SAW bersabda:"Barang siapa yang berpuasa Ramadan kemudian dia mengiringinya dengan puasa enam hari dari bulan Syawal maka seolah-olah ia berpuasa sepanjang tahun.” (HR Muslim No: 1984). Status: Hadis Sahih

Pengajaran :

1.  Kewajipan mukmin melaksanakan ibadat puasa sebulan Ramadan.

2.  Orang yang berpuasa penuh sepanjang bulan Ramadan dan diikuti puasa sunat Syawal sebanyak enam hari, seolah-olah dia telah berpuasa selama setahun.

3.  Puasa sunat enam hari pada bulan Syawal, tidak semestinya dilakukan enam hari berturut-turut. Puasa sunat Syawal boleh bermula pada dua hari raya eidil fitri atau bila-bila masa pada bulan Syawal sehingga 30 hb Syawal.

Marilah dalam kemeriahan kita meraikan hari raya, jangan lupa puasa sunat enam hari Syawal.

Jadilah kamu seorang Rabbani (hamba Allah yang selalu beribadah kepada-Nya di setiap waktu dan tempat), dan janganlah kamu menjadi seorang Ramadani (orang yang hanya beribadah kepada-Nya di bulan Ramadan)

SEJENAK DENGAN HADITH 6

1 Hari 1 Hadis:
PERKONGSIAN 1 HARI 1 HADIS

Semarak Ukhuwah Dengan Ucapan Salam Dan Bersalaman

عن حذيفة بن اليمان ، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إِنَّ المُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ الْمُؤْمِنَ فَسَلَّمَ عَلَيهِ وَأَخَذَ بِيَدِهِ فَصَافَحَهُ تَنَاثَرَتْ خَطَايَاهُمَا كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرِ

Daripada Huzaifah al-Yaman RA daripada Nabi SAW baginda bersabda: “Jika seorang mukmin bertemu dengan mukmin lainnya lalu mengucapkan salam kepadanya dan mengambil tangannya lalu menjabatnya, maka berguguranlah dosa-dosa mereka seperti gugurnya daun-daun dari pepohon”   (HR at-Tabrani No: 250) Status: Hadis Sahih

Pengajaran:

1.  Satu daripada adab yang perlu dilaksanakan apabila bertemu sesama Muslim ialah mengucapkan salam.

2.  Ucapan salam juga tanda kecintaan kepada sesama Muslim. Dari Abu Hurairah ra bahawasanya Rasulullah SAW bersabda:

لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

“Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Dan kalian tidak dikatakan beriman hingga kalian saling mencintai. Mahukah kalian aku beritahu dengan sesuatu yang apabila kalian lakukan kalian akan saling mencintai? (yaitu) sebarkanlan (ucapkanlah) salam diantara kalian.” (HR. Muslim) Status: Hadis Sahih

3.  Berjabat tangan adalah ibadah yang disyariatkan ketika bertemu dan berpisah

4.  Berjabat tangan juga menjadi sunnah para sahabat, sebagaimana digambarkan dalam riwayat berikut :

عَنْ قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ قُلْتُ لِأَنَسٍ أَكَانَتْ الْمُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ

Dari Qatadah ra, aku berkata kepada Anas bin Malik, “Apakah berjabat tangan selalu dilakukan oleh para Sahabat Rasulullah SAW?” Anas menjawab, “Ya”. (HR. Bukhari)

5.  Ibn Hajar mengatakan, “berjabat tangan adalah melekatkan telapak tangan pada telapak tangan yang lain.” (Fathul Bari, 11/54).

Menurut Imam An Nawawi dalam al-Adzkar - ditahan beberapa saat, selama rentang waktu yang cukup untuk menyampaikan salam.”

6.  Muslim yang berjabat tangan apabila bertemu akan menggugurkan dosa-dosanya seperti dedaun

Ambillah kesempatan sempena Syawal ini untuk saling kunjung-mengunjung,  ambil kesempatan mengucapkan salam dan bersalaman sesama jantina yang dibenarkan syarak.

SEJENAK DENGAN HADITH 5

1 Hari 1 Hadis:
PERKONGSIAN 1 HARI 1 HADIS

Semarak Ukhuwah Dengan Bersalaman Mengampunkan Dosa

عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا

Dari Abu Ishaq dari Al-Bara` ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah dua orang Muslim bertemu lalu saling berjabat tangan, melainkan diampuni bagi keduanya sebelum keduanya berpisah” (HR Abu Daud: No 4536) Status: Hadis Sahih

Pengajaran:

1.  Ambil peluang sempena Syawal ini saling ziarah menziarahi, bertemu dan bersua muka antara satu sama lain

2.  Ketika bertemu sesama Muslim, ambil peluang saling berjabat tangan (pastikan bukan berlainan jantina yang dilarang)

3.  Allah akan mengampuni dosa dua orang Muslim yang bertemu dan berjabat tangan, sebelum mereka berpisah.

Marilah kita  saling bersalaman dan bermaafan. Firman Allah dalam Surah An-Nur ayat 22:

وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahawa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

#Semarak Ukhuwah Memacu Perubahan#
#Malaysia Menuju Negara Rahmah#
Pertubuhan IKRAM Malaysia Negeri Johor

28hb Jun  2017
04hb Syawal 1438H

Utk dapatkan 1 Hari 1 Hadis Pertubuhan Ikram Malaysia Negeri Johor, sila klik link di bawah :
telegram.me/hadisharian_ikram

SEJENAK DENGAN HADITH 4

1 Hari 1 Hadis:
PERKONGSIAN 1 HARI 1 HADIS

Semarak Ukhuwah Dengan Berjabat Tangan & Berhadiah

عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي مُسْلِمٍ عَبْدِ اللَّهِ الْخُرَاسَانِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَصَافَحُوا يَذْهَبْ الْغِلُّ وَتَهَادَوْا تَحَابُّوا وَتَذْهَبْ الشَّحْنَاءُ

Dari 'Atha bin Abu Muslim Abdullah Al-Khurasani berkata,  Rasulullah SAW bersabda: “Hendaklah kalian saling berjabat tangan, dengan begitu akan menghilangkan kebencian, dan hendaklah kalian saling memberi hadiah nescaya kalian akan saling mencintai dan menghilangkan perasaan dendam” (HR Malik No: 1413) Isnad Hasan

Pengajaran:

1.  Berjabat tangan akan melahirkan perasaan kasih, “mengeratkan” ukhuwah Islamiyah diantara sesama muslim.

2.  Berjabat tangan akan menghilangkan permusuhan dan kedengkian di dalam hati, menghilangkan rasa “al-ghil” (perasaan tidak suka).

3.  Berusaha untuk memulai berjabat tangan terlebih dahulu ketika saling bertemu. Rasulullah SAW merupakan orang yang terlebih dahulu memulai berjabat tangan apabila bertemu sahabat

4.  Bersalaman merupakan bentuk penghormatan, kita dianjurkan untuk membalas penghormatan dengan cara yang lebih baik dari penghormatan yang dilakukan oleh saudara kita. Apabila saudara kita mengucapkan salam, maka hendaknya kita balas dengan salam serupa atau yang lebih baik (lebih sempurna) dari salamnya, dan jika ia menjabat tangan, maka hendaknya kita membalasnya dengan jabatan tangan yang lebih erat dan lebih hangat kepadanya. Dalam sebuah riwayat disebutkan :

عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضيَ اللهُ عَنْهُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مِنْ تَمَامِ التَّحِيَّةِ الْأَخْذُ بِالْيَدِ

Dari Abdullah bin Mas’ud RA bahawasanya Rasulullah SAW bersabda, “Diantara bentuk penghormatan yang paling sempurna adalah berjabat tangan.” (HR. Tirmizi)

5.  Saling memberi hadiah akan melahirkan perasaan kasih dan sayang sesama kita. Memberi duit raya kepada kanak-kanak akan melahirkan rasa kegembiraan dan kasih sayang.

6.  Saling memberi hadiah menghilangkan perasaan dendam dan marah. Alangkah elok bagi yang muda menziarahi orang tua di musim perayaan dengan memberi hadiah kepada mereka sama ada berbentuk wang ringgit mahupun kueh mueh.

SEJENAK DENGAN HADITH 3

1 Hari 1 Hadis:
PERKONGSIAN 1 HARI 1 HADIS

Semarak Ukhuwah Untuk Dicintai Allah

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ قَالَ هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا قَالَ لَا غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ فَإِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ

Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, "Pada suatu ketika ada seorang lelaki yang mengunjungi saudaranya di desa lain. Kemudian Allah pun mengutus malaikat untuk menemui orang tersebut. Ketika orang itu ditengah perjalanannya ke desa yang dituju, maka malaikat tersebut bertanya; 'Hendak pergi ke mana kamu? ' Orang itu menjawab; 'Saya akan menjenguk saudara saya yang berada di desa lain.' Malaikat itu terus bertanya kepadanya; 'Apakah kamu mempunyai satu perkara yang menguntungkan dengannya? ' Laki-laki itu menjawab; 'Tidak, saya hanya mencintainya kerana Allah Azza wa Jalla.' Akhirnya malaikat itu berkata; 'Sesungguhnya aku ini adalah malaikat utusan yang diutus untuk memberitahukan kepadamu bahawasanya Allah akan senantiasa mencintaimu sebagaimana kamu mencintai saudaramu kerana Allah.' (HR Muslim No: 4656) Status Hadis Sahih

Pengajaran:

1.  Antara tanda mengasihi saudara dan sahabat ialah berusaha menziarahi mereka dengan ikhlas.

2.  Allah sentiasa mencintai kepada orang yang mencintai dan mengasihi orang lain kerana Allah.

3. Ziarah dan kunjungi saudara mara dan sahabat handai semata-mata kerana Allah untuk mengeratkan silaturahim dan ukhuwah.

4. Marilah kita saling mengunjungi  sanak saudara dan sahabat handai khususnya di bulan Syawal. Tidak perlu kita menunggu rumah terbuka.  Carilah ruang masa menziarahi saudara-mara, kerabat dan sahabat kita sebagai tanda kita mengasihi mereka.

Moga kecintaan dan kasih sayang kita kepada kerabat dan sahabat handai akan menjadikan kita dikasihi dan dirahmati Allah.

5. Semarakkan Silaturahim dan Ukhuwah Bagi Memacu Perubahan Masyarakat dan Negara.

Monday 19 June 2017

SEJENAK DENGAM HADITH - 10 HARI AKHIR RAMADHAN


1. Jangan Terhalang Daripada Kebaikan

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ دَخَلَ رَمَضَانُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ هَذَا الشَّهْرَ قَدْ حَضَرَكُمْ وَفِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَهَا فَقَدْ حُرِمَ الْخَيْرَ كُلَّهُ وَلَا يُحْرَمُ خَيْرَهَا إِلَّا مَحْرُومٌ

Dari Anas bin Malik RA ia berkata, "Ketika datang bulan ramadan, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya bulan ini telah hadir kepada kalian. Di bulan ini ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa diharamkan darinya, maka dia telah diharamkan kebaikan semuanya. Dan tidak diharamkan kebaikannya kecuali bagi yang terhalang dari kebaikan. " (HR Ibnu Majah No: 1634) Status: Hasan Sahih

Pengajaran:

1.  Terdapat satu malam (lailatul Qadar) yang barang siapa beramal soleh pada malam tersebut, seumpama  dia telah melakukan amal soleh melebihi 1000 bulan

2.  Barang siapa yang terhalang daripada beribadah pada malam lailatul qadar, sungguh ia telah terhalang dari kebaikan seluruhnya, dan tidaklah terhalang dari kebaikan malam itu kecuali orang yang mahrum (terhalang dari kebaikan).

3.  Setiap muslim sangat dianjurkan untuk menghidupkan lailatul qadar dengan penuh iman dan mengharap pahala yang dijanjikan. Sehingga apabila ia ikhlas melaksanakannya, dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan pada masa lalu akan diampunkan  Allah.

4. Rebutlah peluang beribadat. Jangan sampai kita tergolong dari kalangan yang terhalang melakukan amal ibadat khususnya di sepuluh malam akhir Ramadan.

JANGAN biarkan masjid kita lengang dan kosong
JANGAN biarkan kita disibukkan untuk persiapan Hari Raya
JANGAN biarkan kita buat tak tahu je...

2. Melipat Gandakan Amal Di Sepuluh Akhir Ramadan 

قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مَا لَا يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ

Aisyah Radhiyallahu anhuma, berkata:  “Rasulullah SAW lebih giat (dalam beribadah) pada sepuluh hari terakhir ini yang tidak baginda lakukan pada hari-hari lainnya.” (HR Muslim No: 2009) Status: Hadis Sahih

Pengajaran:

1.  Rasulullah mempergiatkan amal ibadah pada 10 terakhir daripada bulan Ramadan melebihi daripada waktu lain.

2.  Antara ibadat yang boleh dilakukan pada 10 terakhir Ramadan ialah iktikaf di masjid, perbanyakkan ibadat khusus seperti membaca Al-Quran, sedekah, berzikir solat sunat seperti duha, solat tahajud, solat tasbih dan lain-lain.

a.  Dikatakan Saidina Umar sibuk menunaikan solat sepanjang malam hingga fajar.
b.  Qatadah pernah mengkhatam seluruh Al-Quran setiap malam pada 10 malam terakhir Ramadan

3.  Ada orang yang sanggup mengambil cuti semata-mata untuk menumpukan ibadat sepanjang 10 hari terkahir Ramadan.  Anda bagaimana?

Mari kita lipat gandakan amalan di sepuluh hari terakhir daripada Ramadan ini.

a.  Menjaga solat terawih dan pergi awal ke masjid, bersungguh untuk berada di saf paling hadapan dan tidak beredar sehinggalah imam meninggalkan tempatnya.

b.  Iktikaf – usahakan pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, ajak ahli keluarga, jiran dan kenalan ke Masjid sekurang-kurangnya bermula waktu magrib sehingga tamat solat tarawikh.

c.  Perbanyakkan doa "Sesungguhnya doa di waktu sahur adalah anak panah qadar".  Doa untuk diri dan keluarga, doa untuk dakwah ini,  doa untuk kesejahteraan umat Islam di Malaysia. Juga doa kesejahteraan umat Islam di Palestin, Syria, Iraq, Rohinga dan di seluruh dunia…semoga Allah mengembalikan hak mereka dan melegakan musibah mereka.

3. Perbanyak Doa Keampunan Di Malam Lailatul Qadar

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Rasulullah SAW, iaitu jika ada suatu hari yang aku tahu bahawa malam tersebut adalah lailatul qadar, apakah doa yang mesti aku ucapkan?” Jawab Rasululullah SAW: “Berdoalah: Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni  (Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah yang maha pengampun dan sentiasa memberi pengampunan atas kesalahan hambamu, maafkanlah segala kesalahanku” (HR Tirmidzi No: 3435) Status: Hadis Sahih

Pengajaran:

1.  Sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadan menuntut kita memperbanyak amal ibadah termasuklah memperbanyak doa.

2.  Rasulullah SAW menganjurkan kita agar perbanyakkan doa memohon ampun di sepuluh malam terakhir dari Ramadhan khususnya apabila menemui lailatul qadar.

3.  Kita bertawasul dengan sifat ‘afwu (Maha Pemaaf Allah) dengan memohon agar Allah  memaafkan dosa yang kita lakukan.

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

"Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah yang maha pengampun dan sentiasa memberi pengampunan atas kesalahan hambamu, maafkanlah segala kesalahanku”


4. Memburu Lailatul Qadar Sepuluh Malam Terakhir Ramadan 

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَاوِرُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ وَيَقُولُ تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: Rasulullah SAW beriktikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan dan bersabda: "Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh malam yang akhir dari Ramadhan". (HR Bukhari No: 1880) Status: Hadis Sahih

Pengajaran:

1.  Rasulullah SAW menyuruh beriktikaf pada 10 malam terakhir dari Ramadan untuk memburu lailatul Qadr.

2.  Bersungguh beramal pada 10 malam terakhir Ramadan untuk memperoleh lailatul Qadar yang ganjaran amalan pada malam tersebut melebihi 1000 bulan iaitu 83 tahun 4 bulan.

3.  Sepatutnya kita tidak hanya memilih malam-malam tertentu untuk memburu lailatul Qadar kerana tidak ada satu tarikh yang tepat dan ia dirahsiakan untuk menjadi pendorong kepada kita mencarinya pada sepuluh malam terakhir Ramadhan.

4.  Bangunkan ahli keluarga kita untuk bersama merebut peluang bertemu lailatul Qadar.

5. Perbanyakkan iktikaf, pelihara solat fardhu berjemaah di masjid, tingkatkan tilawah al-Quran, perbanyakkan doa dan permohonan ampun kepada Allah.

6.  Bayangkan seolah-olah inilah Ramadan terakhir kita dan mungkin ini peluang terakhir untuk bertemu Lailatul Qadar.

Wednesday 14 June 2017

TAFSIR SURAH AT TAUBAH AYAT 100


Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka jannah (surga-surga) yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah:100)

Penjelasan Mufradat Ayat

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)”, yaitu para pendahulu umat ini yang mereka bersegera dalam beriman, berhijrah, dan berjihad, serta menegakkan agama Allah.
“Orang-orang Muhajirin”, yaitu orang-orang yang disebutkan sifatnya oleh Allah dalam firman-Nya:

“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”(Al-Hasyr: 8)

“Orang-orang Anshar”, yaitu orang-orang yang telah disebutkan sifatnya oleh Allah dalam firman-Nya:

“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada memiliki keinginan di dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)

Mereka semua tergolong ke dalam As-Sabiqunal Awwalun, yaitu orang-orang yang berinfaq sebelum Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) dan mereka juga orang-orang yang berperang, termasuk orang-orang berbai’at di bawah pohon (Bai’at Ar-Ridhwan), yang jumlah mereka lebih dari 1.400 orang. (lihat Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi, 2/692)

“Dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”, yaitu orang-orang yang mengikuti mereka dalam mengamalkan agama, baik dalam hal aqidah, perkataan, maupun amalan. Mereka adalah orang yang selamat dari celaan dan mendapatkan pujian serta kemuliaan yang paling afdhal dari Allah. Semoga kita termasuk di antara mereka. Amin. (Taisir Al-Kariim Ar-Rahman, karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, hal. 350)

Penjelasan Ayat

Ayat Allah yang mulia ini merupakan salah satu di antara sekian banyak ayat yang menjelaskan keutamaan para shahabat gdan orang-orang yang berjalan di atas jejak mereka. Mereka mendapatkan keridhaan Allah, di mana puncak keridhaan tersebut adalah dimasukkannya seorang hamba ke dalam jannah-Nya yang telah dipersiapkan oleh Allah, yang di bawahnya mengalir sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya.

Sungguh indah apa yang dituliskan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya tatkala menjelaskan ayat ini. Beliau berkata: “Sungguh Allah Yang Maha Agung telah mengabarkan bahwa Dia telah ridha kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta yang mengikuti mereka dengan baik. Maka celakalah orang yang membenci mereka, mencela mereka, atau membenci dan mencela sebagian mereka. Terlebih lagi terhadap pemimpin para shahabat setelah Rasulullah n dan yang terbaik serta termulia dari mereka yaitu Ash-Shiddiq Al-Akbar dan seorang khalifah yang mulia: Abu Bakar bin Abi Quhafah, sungguh Allah telah meridhainya.

Sesungguhnya ada satu kelompok yang hina dari kalangan Rafidhah yang memusuhi para shahabat, membenci mereka serta mencelanya -kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut. Ini menunjukkan bahwa akal mereka telah terbalik, hati mereka telah berubah. Di manakah keimanan mereka terhadap

Al Quran tatkala mereka mencela orang-orang yang telah Allah ridhai?

Adapun Ahlus Sunnah, mereka senantiasa menyebutkan keridhaan terhadap apa-apa yang telah Allah ridhai dan mereka mencela orang yang mencela Allah dan Rasul-Nya. Mereka bersikap wala terhadap orang yang ber-wala kepada Allah dan memusuhi orang yang memusuhi Allah. Mereka adalah orang yang muttabi’ (mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya-pen) dan bukan mubtadi’ (ahli bid’ah). Mereka senantiasa mengikuti dan tidak mendahului. Mereka inilah kelompok Allah yang mendapatkan kemenangan dan hamba-hamba-Nya yang mukmin.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/384-385, Maktabah Tijariyah)

Di dalam ayat yang mulia ini, Allah menyebutkan tiga tingkatan orang-orang yang mendapatkan kemulian: Kaum Muhajirin, kaum Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka. Untuk dua kelompok yang pertama, mereka telah berlalu. Adapun yang terakhir, masih terbuka jalan bagi siapa saja di kalangan umat ini yang ingin mendapatkan keselamatan.

Sa’d bin Abi Waqqash berkata: “Manusia terdiri dari tiga kedudukan. Telah berlalu dua kedudukan dan tersisa satu kedudukan. Maka perbaikilah amalan yang kalian lakukan agar termasuk dalam kedudukan yang masih tersisa.” Lalu beliau membaca firman-Nya:

“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hasyr: 8)

“Mereka adalah kaum Muhajirin, dan ini satu kedudukan.” Lalu beliau membaca:
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)

Beliau berkata: “Mereka adalah kaum Anshar, dan inipun satu kedudukan yang telah berlalu.” Lalu beliau membaca:

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr:10)

Lalu beliau berkata: “Sungguh telah berlalu dua kedudukan dan tersisa kedudukan ini. Maka perbaikilah amalan yang kalian lakukan agar termasuk dalam kedudukan yang masih tersisa, dengan beristighfar untuk mereka (kaum yang telah berlalu).” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2/484,dan Al-Lalikai dalam Syarah Ushul I’tiqad, 2/2354, cetakan Darul Bashirah dan Darul Atsar)
Jangan Mencela Para Shahabat

Merupakan salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah memuliakan para shahabat dan tidak mencela mereka. Abu Bakar bin Abi Dawud As-Sajastani berkata dalam qashidah-nya:

Dan katakanlah dengan sebaik-baik ucapan terhadap seluruh para shahabat. Dan jangan kalian mencela, menyebut aib, dan mencercanya. Sungguh wahyu yang nyata telah menyebut keutamaan mereka. Dan dalam surat Al-Fath ada beberapa ayat yang memuji para shahabat
(lihat Siyar A’lam An-Nubala, 13/235, cetakan Muassasah Ar-Risalah)

Rasulullah telah melarang umatnya untuk mencela para shahabat Nabi. Beliau bersabda:
“Janganlah kalian mencela para shahabatku. Demi (Allah) yang jiwaku berada ditangan-Nya, kalaulah salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, tidak akan menyamai satu mud (yang mereka infaqkan) dan tidak pula setengahnya.” (Muttafaqun ‘alaihi dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri, dan riwayat Muslim dari hadits Abu Hurairah)

Sangat banyak atsar dari para ulama salaf yang menyebutkan larangan mencela para shahabat serta menyebutkan akibat dan hukuman bagi mereka yang melakukannya. Imamus Sunnah Ahmad bin Hambal berkata: “Jika engkau melihat seseorang menjelek-jelekkan salah seorang shahabat Rasulullah, maka tuduhlah (curigailah) keislamannya.” (Syarah Al-Lalikai, 2/2359)

Al-Lalika`i juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Al-Bahi, ia berkata: Ubaidullah bin ‘Umar (bin Al-Khaththab) mencela Al-Miqdad bin Al-Aswad, maka ‘Umar pun berkeinginan memotong lidahnya. Namun para shahabat berusaha membujuk beliau (agar tidak melakukannya), lalu beliau berkata: “Biarkanlah aku memotong lidah anakku, agar tidak seorang pun setelahku lancang dalam mencela seseorang dari shahabat Rasulullah n.” (Syarah Al-Ushul, 2/2377)
Mughirah berkata: “Juga dikatakan: mencela Abu Bakar dan ‘Umar.” (Syarah Al-Ushul, 2/2387)
Beliau juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Al-Harits bin ‘Utbah, bahwa seseorang yang mencela ‘Utsman (bin ‘Affan) dibawa kepada ‘Umar bin Abdul ‘Aziz, lalu beliau bertanya: “Apa yang menyebabkan engkau mencelanya?” Dia menjawab: “Aku membencinya!” Beliau berkata: “Engkau membenci dan mencelanya?” Lalu beliau memerintahkan agar dia dicambuk 30 kali. (Syarah Al-Ushul, 2/2383)

At-Thahawi berkata dalam membantah kaum Rafidhah dan Nawashib (kaum yang membenci ‘Ali z): “Kami mencintai para shahabat Rasulullah n dan kami tidak berlebih-lebihan dalam mencintai mereka. Kami tidak memusuhi seorangpun dari mereka, dan kami membenci orang yang membenci mereka dan (membenci orang) yang tidak menyebut mereka dengan kebaikan. Kami tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah agama, iman, dan ihsan. Membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan, dan melampaui batas.” (Matan Ath-Thahawiyah, 2/689, bersama syarahnya).

Perhatikanlah sikap dan pendirian para ulama salaf dalam menyikapi orang yang mencela dan merendahkan para shahabat. Sungguh telah muncul pada akhir zaman ini, orang-orang yang apabila mereka hidup di zaman para ulama salaf, niscaya para ulama salaf itu akan mencela mereka, menegakkan hukum had atasnya, dan berlepas diri dari mereka.

Di antara orang yang menampakkan kebenciannya terhadap sebagian shahabat adalah Sayyid Quthb.

Dia berkata dalam salah satu kitabnya yang berjudul Kutub wa Syakhshiyyat: “Sesungguhnya Mu’awiyah dan temannya (yang bernama) ‘Amr (bin Al-’Ash) tidak mengalahkan ‘Ali (bin Abi Thalib) karena mereka lebih memahami trik menarik perhatian atau lebih berpengalaman dalam melakukan tindakan yang bermanfaat dalam situasi yang tepat. Namun (disebabkan) karena mereka bebas dalam menggunakan senjatanya, sedangkan (‘Ali) harus terikat dengan akhlaknya dalam mencari berbagai cara dalam menghadapi pergolakan. Tatkala Mu’awiyah dan temannya menggunakan kedustaan, penipuan, makar, kemunafikan, sogokan, dan menjual harga dirinya, sedangkan ‘Ali tidak mampu condong kepada sesuatu yang sangat rendah itu, maka tidak mengherankan bila keduanya sukses dan ‘Ali gagal. Namun kegagalan itu lebih mulia dari semua kesuksesan tersebut.” (Kutub wa Syakhshiyyat hal. 242. Lihat pula Ijma’ Al-’Ulama ‘ala At-Tahdzir, Khalid Azh-Zhafiri hal. 73)

Lihatlah sikap Sayyid Quthb dalam menyikapi dua shahabat yang mulia ini. Apakah pantas seorang yang dianggap sebagai da’i pembela Islam, tokoh kebangkitan –menurut mereka yang memiliki sikap fanatik kepada tokoh ini– mengeluarkan lafadz-lafadz kotor dan menisbahkannya kepada para shahabat yang mulia g? Sungguh ini merupakan kezaliman yang nyata.

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz telah ditanya tentang makalah ini, maka beliau menjawab: “Perkataan kotor, perkataan kotor, karena ini mencela Mu’awiyah dan ‘Amr bin Al-’Ash. Semua ini ucapan kotor, ucapan mungkar. Mu’awiyah dan ‘Amr adalah mujtahid dan mereka bersalah. Para mujtahid yang bersalah, Allah memaafkan mereka.”
Lalu beliau ditanya lagi: “Semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu, apa yang dicegah dari kitab-kitab ini yang terdapat perkataan semacamnya?” Beliau menjawab: “Sepantasnya disobek.” (lihat kitab Ijma’ Al-’Ulama, Khalid Azh-Zhafiri hal. 74)

Perhatikanlah fatwa Asy-Syaikh bin Baz ini, lalu bandingkan dengan ucapan para Quthbiyyun dan Sururiyyun yang menampakkan pembelaannya terhadap Sayyiq Quthb, dengan berbagai alasan yang dipaksakan: “Kita harus ber-muwazanah,” “Ini adalah kezaliman terhadap Sayyid Quthb,” “Beliau seorang sastrawan,” dan seterusnya. Maka anda akan melihat perbedaan yang sangat jauh antara sikap seorang Salafi dengan seorang “khalafi”. Benarlah apa yang dikatakan oleh seseorang:

Setiap kebaikan dalam mengikuti Salaf, Dan setiap keburukan dalam mengikuti khalaf

Wallahul muwaffiq.

Sumber : www.asysyariah.com/keutamaan-shahabat-dalam-al-quran/

Monday 5 June 2017

SEJENAK DENGAN HADITH - SAHUR


A) Sahur Itu Barakah

 عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ

Dari Abi Said al-Khudri, Rasulullah SAW bersabda: "makan sahur itu barakah, maka janganlah kalian tinggalkan meskipun salah seorang dari kalian hanya minum seteguk air, kerana sesungguhnya Allah 'azza wajalla dan para malaikat-Nya berselawat kepada orang-orang yang makan sahur." (HR Ahmad No: 10664) Status: Hadis Hasan

Pengajaran:

1.  Makan ketika bersahur itu memiliki keberkatan. Antara bentuk barakah dari makan sahur adalah mampu memberikan tenaga, menguatkan semangat, dan meringankan beban bagi mereka yang berpuasa.

2.  Bersahurlah kita  sebagai mengambil barakah atau kebaikan dan kelebihan, walaupun hanya dengan seteguk air.

3.  Allah dan para malaikat berselawat ke atas orang yang makan dan minum untuk bersahur. Selawat Allah ke atas orang yang bersahur adalah pujian-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang bersahur, manakala selawat para malaikat ke atas mereka yang bersahur pula merupakan doa pengampunan dari malaikat buat mereka yang bersahur.

4.  Waktu sahur itu sendiri pula termasuk antara waktu mustajab berdoa, waktu terbaik beribadah, dan waktu diampunkan bagi mereka yang memohon keampunan.

5.  Jadikanlah waktu bersahur kita sebagai satu daripada cara kita mendapat pengampunan dari dosa.


B) Sahur Dengan Kurma Kering

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نِعْمَ سَحُورُ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ

Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW baginda bersabda: Sebaik-baik makanan ketika seseorang mukmin bersahur adalah tamar (kurma kering).” (Hadis Riwayat Abu Daud, 6/290, no. 1998. Shahih Ibnu Hibban, 8/253, no. 3475) Status: Hadis Sahih

Pengajaran:

1.  Bersahur adalah sunnah Rasulullah

2.  Sebaik-baik makanan untuk bersahur adalah kurma kering

3.  Kurma merupakan makanan paling kaya kandungan gula glukosa sekitar 55% gula dalam kurma berbentuk glukosa, sedangkan 45% lagi membentuk fruktosa.

4.  Glukosa dalam kurma akan cepat berubah menjadi fructosa, kemudian diserap melalui sistem pencernaan untuk menjadi tenaga. Khususnya jaringan yang perlu tinggi energi, seperti: sel-sel otak, sel-sel saraf, sel-sel darah merah dan sel-sel tulang belakang.

5.  Selain glukosa, kurma juga mengandung sejumlah lemak, protein, dan beberapa vitamin seperti vitamin A, B2, B12. Kurma mengandung beberapa mineral, terutama kalsium, sulfat, sodium, fosfor, potassium, magnesium, florin, kuningan, manganese, cobalt, zinc, serta sejumlah selulosa

Ayuh jangan tinggalkan kurma kering ketika sahur.


C) Sahur Waktu Mustajab Berdoa

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

Dari Abu Hurairah, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Allah Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada setiap akhir sepertiga malam lalu berfirman, “Siapa sahaja yang berdoa kepada-Ku, maka Aku tunaikan untuknya. Sesiapa sahaja yang meminta kepada-Ku, Aku berikan kepadanya. Sesiapa sahaja yang memohon ampun kepada-Ku, Aku ampunkannya.” (HR Bukhari No:  1077) Status: Hadis Sahih

Pengajaran:

1.  Sepertiga akhir malam adalah waktu istimewa untuk ahli ibadah (sekitar jam 3 pagi hingga sebelum subuh).

2.  Waktu akhir sepertiga malam (waktu sahur) merupakan waktu mustajab doa (doa diperkenan).

3.  Waktu akhir sepertiga malam (waktu sahur) waktu Allah mengampunkan dosa kepada yang memohon keampunan.
وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُون

Ketika waktu sahur (akhir-akhir malam), mereka berdoa memohon keampunan”  (QS. Adz Dzariyat: 18)

4. Rugilah mereka yang bangun di penghujung malam hanya untuk makan sahur atau ke toilet semata-mata.

Ayuh rebut peluang waktu istimewa ini dengan solat sunat seperti tahajud  dan  berdoa serta memohon  keampunan dari dosa.

Jadikan ibadat Ramadan kali ini merubah kehidupan kita.


D) Melewatkan Sahur Menyegerakan Berbuka
 
عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالٍ أَنْتَ يَا بِلَالُ تُؤَذِّنُ إِذَا كَانَ الصُّبْحُ سَاطِعًا فِي السَّمَاءِ فَلَيْسَ ذَلِكَ بِالصُّبْحِ إِنَّمَا الصُّبْحُ هَكَذَا مُعْتَرِضًا ثُمَّ دَعَا بِسَحُورِهِ فَتَسَحَّرَ وَكَانَ يَقُولُ لَا تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا أَخَّرُوا السَّحُورَ وَعَجَّلُوا الْفِطْرَ

Dari Abu Dzar RA bahwa Nabi SAW bersabda pada Bilal: "Wahai Bilal, kalau subuh telah beranjak ke langit maka itu bukanlah subuh, subuh itu nampak seperti ini, " lalu baginda menyuruh untuk sahur dan baginda pun sahur seraya bersabda: "Umatku akan selalu dalam kebaikan selama mengakhirkan sahur dan mempercepat berbuka." (HR. Ahmad No: 20530) Status: Isnad Hasan

Pengajaran:

1.  Rasulullah adalah contoh dalam kita melakukan ibadat termasuk amalan berbuka dan bersahur ketika berpuasa. Ia juga adalah amalan para Nabi.

2.  Antara amalan yang perlu dicontohi ketika berpuasa ialah segera berbuka apabila masuk waktu berbuka.

3.  Melewatkan bersahur juga merupakan amalan Rasulullah dan para sahabat yang kita digalakkan mengikutinya.

4. Waktu sahur dilewatkan seperti yang diceritakan oleh  Anas bin Malik RA dari Zaid bin Tsabit:

تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً

"Kami makan sahur bersama Nabi Muhammad SAW lalu kami solat (subuh) berjamaah", Anas berkata kepada Zaid: "berapa jarak waktu antara azan (subuh) dan sahur?" Zaid menjawab: "sekitar bacaan al-Quran 50 ayat" (HR Bukhari)

Berdasarkan hadis ini,  jarak waktu selesai sahur Nabi SAW dengan waktu subuh sangat dekat, hanya sekitar jangkaan waktu bacaan 50 ayat al-Quran yang dibaca dengan kadar sederhana, tidak cepat dan tidak lambat (sekitar 10 – 15 minit sebelum subuh).

‘Amr B. Maimun al-Audi menyatakan, “Para sahabat Muhammad SAW adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan paling terakhir (lewat) dalam bersahur.” (Ibnu Hajar, Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari, 4/199)

Semoga kita dapat mengikuti sunah Nabi SAW dengan bersegera berbuka apabila masuk waktu dan melewatkan sahur.


Thursday 1 June 2017

TAFSIR SURAT YUSUF AYAT 55


Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal

Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)

 Tafsir Ayat

Ayat ini menerangkan permintaan Yusuf ‘alaihissalaam kepada penguasa di zaman itu untuk mengangkatnya sebagai bendahara yang menjaga gudang perbendaharaan harta negeri, agar keadilan merata dan kezaliman disirnakan. Yusuf ‘alaihissalaam akan menjadikan hal itu sebagai sarana mengajak penduduk negeri tersebut agar beriman kepada Allah ‘azza wa jalladan meninggalkan penyembahan terhadap berhala-berhala.

Yusuf ‘alaihissalaam berkata, “Jadikanlah aku untuk mengawasi khazainul ardh.”

Ungkapan خَزَائِنُ الْأَرْضِ , kata خَزَائِنُ adalah bentuk jamak dari kata .خَزَانَةٌAsalnya adalah sebuah tempat yang digunakan untuk menyimpan sesuatu. Yang dimaksud di sini adalah tempattempat yang dijadikan sebagai gudang harta. (Fathul Qadir, asy-Syaukani)

Yusuf ‘alaihissalaam menawarkan hal ini kepada sang raja ketika dia benar-benar telah mengetahui bahwa Yusuf ‘alaihissalaam terbebas dari segala tuduhan yang dialamatkan kepada beliau sehingga masuk penjara karenanya. Sang raja telah mengetahui keutamaan yang dimiliki oleh Yusuf ‘alaihissalaam, yaitu ilmu, kemuliaan akhlak, kepandaian menakwil mimpi, dan keutamaan.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

Dan raja berkata, “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata, “Sesungguhnya kamu hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami.” (Yusuf: 54)

Ibnu Abi Hatim rahimahullah meriwayatkan dari Syaibah bin Na’amah, dia mengatakan bahwa kata حَفِيظٌ maknanya ialah menjaga apa yang engkau titipkan untuk disimpan, عَلِيمٌ artinya yang mengetahui akan datangnya tahun-tahun paceklik. (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 8, hlm. 51)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Beliau meminta jabatan itu karena tahu kemampuan beliau untuk menunaikan tugas tersebut. Selain itu, beliau juga ingin memberikan kemaslahatan bagi manusia. Beliau hanya meminta untuk menjaga perbendaharaan bumi, berupa piramida-piramida yang menyimpan kumpulan hasil bumi bangsa Mesir, karena mereka akan menyambut tahun-tahun (paceklik) yang diberitakan oleh Yusuf.

Dengan demikian, Yusuf ‘alaihissalaam dapat bertindak dengan cara yang lebih efisien, lebih maslahat, dan lebih terbimbing untuk kepentingan mereka. Maka dari itu, permintaan beliau dikabulkan dengan penuh rasa senang dan pemuliaan terhadap beliau.

Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja yang ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (Yusuf: 56)

Al-Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Yusuf‘alaihissalaam berkata demi kemaslahatan umum, ‘Jadikanlah aku sebagai bendaharawan negara’, yaitu sebagai bendaharawan yang menjaga hasil bumi, sebagai perwakilan, penjaga, dan yang mengurusi.

‘Sesungguhnya aku orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.’Maksudnya, aku mampu menjaga apa yang ditugaskan kepadaku, sehingga tidak sedikit pun yang telantar bukan pada tempatnya. Aku mampu mengatur dengan baik barang yang masuk dan yang keluar, mengetahui cara mengatur, memberi, mencegah, dan bertindak dengan segala macam cara.

Ini bukanlah sikap ketamakan Yusuf ‘alaihissalaam untuk mendapatkan kepemimpinan, melainkan tekad beliau yang kuat untuk memberi manfaat secara umum. Beliau sendiri tahu bahwa beliau memiliki kecukupan, amanah, dan kepandaian menjaga, yang mereka tidak mengetahui hal itu dari beliau. Oleh karena itu, beliau meminta dari sang raja untuk mengangkatnya sebagai bendaharawan gudang harta negeri itu. Sang raja pun mengangkatnya sebagai bendaharawan negara dan memberi kedudukan itu kepadanya.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)

Hukum Mencalonkan Diri Menjadi Pemimpin

Ayat ini lahiriahnya menunjukkan diperbolehkannya seseorang menawarkan diri untuk mengambil sebuah kedudukan yang memang dia memiliki keahlian dalam bidang tersebut. Al-Qurthubi rahimahullah menerangkan, “Ayat ini menunjukkan pula tentang bolehnya seseorang melamar sebuah pekerjaan yang dia memiliki keahlian dalam bidang tersebut.” (Tafsir al-Qurthubi, 11/385)

Asy-Syaukani rahimahullah juga menjelaskan, “Di dalamnya terdapat dalil bagi seseorang yang meyakini jika dirinya masuk ke salah satu urusan pemerintahan akan bisa mengangkat cahaya kebenaran dan menghancurkan kebatilan yang mampu dia lakukan, diperbolehkan meminta hal itu untuk dirinya. Di samping itu, dia boleh menyebutkan sifat-sifat (kelebihan) yang dia miliki yang mendukung tercapainya kemauan, mengundang ketertarikan para penguasa yang akan menyerahkan kendali urusan kepadanya, dan menjadikannya sebagai dasar agar lamarannya diterima.” (Fathul Qadir juz 3, hlm. 49)

Akan tetapi, telah diriwayatkan beberapa hadits yang menunjukkan tercelanya seseorang meminta kedudukan untuk menjadi seorang pemimpin.

Di antaranya adalah hadits Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

“Wahai Abdurrahman bin Samurah, jangan engkau meminta kepemimpinan. Sebab, jika engkau diberi kepemimpinan karena memintanya, sungguh akan diserahkan kepadamu (yakni Allah ‘azza wa jalla tidak akan menolongmu). Namun, jika engkau diberi bukan karena memintanya, engkau akan ditolong (oleh Allah ‘azza wa jalla) untuk mengembannya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama dua orang dari kabilah Asy’ari. Salah satunya di sebelah kananku dan yang lain di sebelah kiriku. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bersiwak, keduanya meminta jabatan.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Abu Musa,” atau beliau berkata, “Wahai Abdullah bin Qais.” Aku menjawab, “Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran, keduanya tidak memberitahuku tentang apa yang ada pada dirinya. Aku tidak menyangka kalau keduanya meminta pekerjaan.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَا نَسْتَعْمِلُ عَلَى عَمَلِنَا مَنْ أَرَادَهُ

“Kami tidak meyerahkan jabatan kami kepada orang yang memintanya.”(Muttafaqun ‘alaihi)

Dalam riwayat al-Bukhari rahimahullah, dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, “Aku menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama dua orang lelaki dari kaumku, salah satunya berkata, ‘Angkatlah kami menjadi pemimpin, wahai Rasulullah.’ Yang lainnya juga mengucapkan hal yang sama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّا لَا نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلاَ مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ

‘Sesungguhnya kami tidak menyerahkan hal ini kepada orang yang memintanya dan yang sangat berharap mendapatkannya’.” (HR. al-Bukhari, no. 6730)

Diriwayatkan pula oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah, dari Abu Hurairahradhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ

“Sesungguhnya kalian berkeinginan kuat untuk mendapatkan kepemimpinan, dan akan menjadi penyesalan pada hari kiamat kelak, nikmat di dunia, namun sengsara di akhirat.” (HR. al-Bukhari, no. 6729)

Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah dari Abu Dzar al-Ghifariradhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau memberiku kedudukan?’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk pundakku dengan tangannya, lalu berkata, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah. Sesungguhnya ini adalah amanat dan sesungguhnya akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang
mengambilnya denganmenunaikan haknya dan menjalankan apa yang menjadi kewajibannya’.” (HR.Muslim, no. 1825)

Hal ini telah dijawab oleh al-Imam al-Qurthubi rahimahullah dari beberapa sisi.

Yusuf ‘alaihissalaam meminta kedudukan karena beliau mengetahui bahwa tidak seorang pun yang mampu menduduki jabatan tersebut dalam hal keadilan, perbaikan, dan pemberian hak-hak orang miskin.

Jadi, ia melihat bahwa hal itu menjadi fardhu ‘ain baginya karena tidak ada orang lain yang mampu melakukannya. Demikian pula hukumnya sekarang, jika seseorang mengetahui bahwa dia mampu menegakkan kebenaran dalam hal menetapkan hukum dan menegakkan kebenaran, serta tidak ada orang lain yang layak dan bisa mengganti kedudukannya, hal ini menjadi wajib baginya. Dia pun wajib menduduki jabatan itu dan memintanya. Dia juga wajib memberitakan tentang sifat-sifat (kelebihan) yang dimilikinya, berupa ilmu, kemampuan, dan lainnya, yang dengannya dia berhak berada pada posisi tersebut, seperti halnya yang dikatakan oleh Yusuf ‘alaihissalaam.

Adapun jika orang lain yang mampu menegakkan dan memperbaikinya, dan dia mengetahui hal tersebut, sebaiknya dia tidak memintanya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jangan engkau meminta kepemimpinan.”

Jika dia memintanya dan bersemangat untuk mendapatkannya—padahal dia tahu bahwa dirinya memiliki banyak kekurangan dan sulit berlepas diri darinya—ini merupakan tanda bahwa dia meminta jabatan itu untuk dirinya dan kepentingan pribadinya. Barang siapa yang demikian keadaannya, tidak lama kemudian hawa nafsu akan menguasainya sehingga dia binasa. Inilah makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan diserahkan kepadanya(tidak akan ditolong oleh Allah ‘azza wa jalla, -pen.).”

Barang siapa enggan mendapatkan kedudukan itu karena mengetahui kekurangan dirinya dan khawatir tidak mampu menegakkan hak-haknya, atau dia berlari meninggalkannya, kemudian dia diberi ujian untuk menanganinya, diharapkan dia mampu keluar dari berbagai problemnya. Inilah makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Dia akan ditolong.’

Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku orang yang mampu menjaga lagi berilmu.”

Jadi, beliau tidak memintanya karena faktor keturunan dan ketampanannya.

Beliau mengucapkan itu saat tidak ada orang yang mengenalnya sehingga merasa perlu untuk memperkenalkan dirinya. Ini adalah pengecualian dari firman Allah ‘azza wa jalla,

“Janganlah kamu mengatakan dirimu suci.” (an-Najm: 32)

Beliau menganggap bahwa hal itu adalah fardhu ‘ain baginya, karena tidak ada orang lain yang mampu. Ini adalah jawaban yang paling tampak kebenarannya.” (Tafsir al-Qurthubi, jilid 11, hlm. 385—386)

Kerusakan Pemilu dalam Demokrasi

Ayat yang kita bahas ini bukanlah dalil yang membenarkan seseorang untuk ikut terjun ke dalam pentas politik demokrasi dan mencalonkan diri untuk mendapat bagian dari jabatan tersebut. Hal ini disebabkan banyak faktor, di antaranya:

Pemilu merupakan bagian dari menyekutukan[1] Allah ‘azza wa jalla, sebab pemilu merupakan bagian dari demokrasi, yang aturannya berasal dari musuh-musuh Islam untuk memalingkan kaum muslimin dari agamanya.Menuhankan suara terbanyak dan menjadikannya sebagai standar kebenaran meskipun Islam menganggapnya sebagai kebatilan; di sisi lain menolak suara minoritas meskipun itu adalah hal yang pasti kebenarannya menurut agama.Menganggap syariat Islam itu kurang dalam menetapkan peraturan di tengah-tengah manusia, sehingga merasa butuh dengan sistem demokrasi yang jelas-jelas bukan berasal dari Islam.Menyebabkan pudarnya sikap al-wala wal-bara (loyalitas dan kebencian) berdasarkan Islam.Tunduk kepada undang-undang sekuler.Hanya memberi kemaslahatan kepada musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi dan Nasrani.Menyebabkan semakin terpecah belahnya kaum muslimin dengan terbentuknya partai-partai yang sering kali berupaya saling menjatuhkan.

Masih banyak lagi kerusakan-kerusakan pemilu yang merupakan bagian penting dari sistem demokrasi tersebut.

Al-Allamah Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah ditanya, “Apakah mengikuti pemilu/masuk parlemen merupakan wasilah yang disyariatkan untuk menolong agama atau tidak?”

Beliau menjawab, “Tidak.” (al-Fatawa al-Jaliyyah ‘anil Manahij ad-Da’wiyah, hlm. 25)

Selain itu, beliau mengatakan bahwa termasuk di antara bentuk penipuan dengan suara terbanyak adalah yang disebut pemilu, pencalonan diri, atau yang semisalnya. Siapa yang berhasil meraih suara terbanyak, dia yang diutamakan untuk diangkat, meskipun dia termasuk manusia yang paling buruk. Ini adalah metode orang-orang kafir yang mereka gunakan untuk menetapkan pemimpin negara, menteri, atau yang lainnya. (al-Amali an-Najmiyah ‘ala Masail al-Jahiliyah, no. 12)

Wallahul Muwaffiq.