Search This Blog

Monday 19 June 2017

SEJENAK DENGAM HADITH - 10 HARI AKHIR RAMADHAN


1. Jangan Terhalang Daripada Kebaikan

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ دَخَلَ رَمَضَانُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ هَذَا الشَّهْرَ قَدْ حَضَرَكُمْ وَفِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَهَا فَقَدْ حُرِمَ الْخَيْرَ كُلَّهُ وَلَا يُحْرَمُ خَيْرَهَا إِلَّا مَحْرُومٌ

Dari Anas bin Malik RA ia berkata, "Ketika datang bulan ramadan, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya bulan ini telah hadir kepada kalian. Di bulan ini ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa diharamkan darinya, maka dia telah diharamkan kebaikan semuanya. Dan tidak diharamkan kebaikannya kecuali bagi yang terhalang dari kebaikan. " (HR Ibnu Majah No: 1634) Status: Hasan Sahih

Pengajaran:

1.  Terdapat satu malam (lailatul Qadar) yang barang siapa beramal soleh pada malam tersebut, seumpama  dia telah melakukan amal soleh melebihi 1000 bulan

2.  Barang siapa yang terhalang daripada beribadah pada malam lailatul qadar, sungguh ia telah terhalang dari kebaikan seluruhnya, dan tidaklah terhalang dari kebaikan malam itu kecuali orang yang mahrum (terhalang dari kebaikan).

3.  Setiap muslim sangat dianjurkan untuk menghidupkan lailatul qadar dengan penuh iman dan mengharap pahala yang dijanjikan. Sehingga apabila ia ikhlas melaksanakannya, dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan pada masa lalu akan diampunkan  Allah.

4. Rebutlah peluang beribadat. Jangan sampai kita tergolong dari kalangan yang terhalang melakukan amal ibadat khususnya di sepuluh malam akhir Ramadan.

JANGAN biarkan masjid kita lengang dan kosong
JANGAN biarkan kita disibukkan untuk persiapan Hari Raya
JANGAN biarkan kita buat tak tahu je...

2. Melipat Gandakan Amal Di Sepuluh Akhir Ramadan 

قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مَا لَا يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ

Aisyah Radhiyallahu anhuma, berkata:  “Rasulullah SAW lebih giat (dalam beribadah) pada sepuluh hari terakhir ini yang tidak baginda lakukan pada hari-hari lainnya.” (HR Muslim No: 2009) Status: Hadis Sahih

Pengajaran:

1.  Rasulullah mempergiatkan amal ibadah pada 10 terakhir daripada bulan Ramadan melebihi daripada waktu lain.

2.  Antara ibadat yang boleh dilakukan pada 10 terakhir Ramadan ialah iktikaf di masjid, perbanyakkan ibadat khusus seperti membaca Al-Quran, sedekah, berzikir solat sunat seperti duha, solat tahajud, solat tasbih dan lain-lain.

a.  Dikatakan Saidina Umar sibuk menunaikan solat sepanjang malam hingga fajar.
b.  Qatadah pernah mengkhatam seluruh Al-Quran setiap malam pada 10 malam terakhir Ramadan

3.  Ada orang yang sanggup mengambil cuti semata-mata untuk menumpukan ibadat sepanjang 10 hari terkahir Ramadan.  Anda bagaimana?

Mari kita lipat gandakan amalan di sepuluh hari terakhir daripada Ramadan ini.

a.  Menjaga solat terawih dan pergi awal ke masjid, bersungguh untuk berada di saf paling hadapan dan tidak beredar sehinggalah imam meninggalkan tempatnya.

b.  Iktikaf – usahakan pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, ajak ahli keluarga, jiran dan kenalan ke Masjid sekurang-kurangnya bermula waktu magrib sehingga tamat solat tarawikh.

c.  Perbanyakkan doa "Sesungguhnya doa di waktu sahur adalah anak panah qadar".  Doa untuk diri dan keluarga, doa untuk dakwah ini,  doa untuk kesejahteraan umat Islam di Malaysia. Juga doa kesejahteraan umat Islam di Palestin, Syria, Iraq, Rohinga dan di seluruh dunia…semoga Allah mengembalikan hak mereka dan melegakan musibah mereka.

3. Perbanyak Doa Keampunan Di Malam Lailatul Qadar

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Rasulullah SAW, iaitu jika ada suatu hari yang aku tahu bahawa malam tersebut adalah lailatul qadar, apakah doa yang mesti aku ucapkan?” Jawab Rasululullah SAW: “Berdoalah: Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni  (Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah yang maha pengampun dan sentiasa memberi pengampunan atas kesalahan hambamu, maafkanlah segala kesalahanku” (HR Tirmidzi No: 3435) Status: Hadis Sahih

Pengajaran:

1.  Sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadan menuntut kita memperbanyak amal ibadah termasuklah memperbanyak doa.

2.  Rasulullah SAW menganjurkan kita agar perbanyakkan doa memohon ampun di sepuluh malam terakhir dari Ramadhan khususnya apabila menemui lailatul qadar.

3.  Kita bertawasul dengan sifat ‘afwu (Maha Pemaaf Allah) dengan memohon agar Allah  memaafkan dosa yang kita lakukan.

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

"Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah yang maha pengampun dan sentiasa memberi pengampunan atas kesalahan hambamu, maafkanlah segala kesalahanku”


4. Memburu Lailatul Qadar Sepuluh Malam Terakhir Ramadan 

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَاوِرُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ وَيَقُولُ تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: Rasulullah SAW beriktikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan dan bersabda: "Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh malam yang akhir dari Ramadhan". (HR Bukhari No: 1880) Status: Hadis Sahih

Pengajaran:

1.  Rasulullah SAW menyuruh beriktikaf pada 10 malam terakhir dari Ramadan untuk memburu lailatul Qadr.

2.  Bersungguh beramal pada 10 malam terakhir Ramadan untuk memperoleh lailatul Qadar yang ganjaran amalan pada malam tersebut melebihi 1000 bulan iaitu 83 tahun 4 bulan.

3.  Sepatutnya kita tidak hanya memilih malam-malam tertentu untuk memburu lailatul Qadar kerana tidak ada satu tarikh yang tepat dan ia dirahsiakan untuk menjadi pendorong kepada kita mencarinya pada sepuluh malam terakhir Ramadhan.

4.  Bangunkan ahli keluarga kita untuk bersama merebut peluang bertemu lailatul Qadar.

5. Perbanyakkan iktikaf, pelihara solat fardhu berjemaah di masjid, tingkatkan tilawah al-Quran, perbanyakkan doa dan permohonan ampun kepada Allah.

6.  Bayangkan seolah-olah inilah Ramadan terakhir kita dan mungkin ini peluang terakhir untuk bertemu Lailatul Qadar.

Wednesday 14 June 2017

TAFSIR SURAH AT TAUBAH AYAT 100


Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka jannah (surga-surga) yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah:100)

Penjelasan Mufradat Ayat

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)”, yaitu para pendahulu umat ini yang mereka bersegera dalam beriman, berhijrah, dan berjihad, serta menegakkan agama Allah.
“Orang-orang Muhajirin”, yaitu orang-orang yang disebutkan sifatnya oleh Allah dalam firman-Nya:

“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”(Al-Hasyr: 8)

“Orang-orang Anshar”, yaitu orang-orang yang telah disebutkan sifatnya oleh Allah dalam firman-Nya:

“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada memiliki keinginan di dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)

Mereka semua tergolong ke dalam As-Sabiqunal Awwalun, yaitu orang-orang yang berinfaq sebelum Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) dan mereka juga orang-orang yang berperang, termasuk orang-orang berbai’at di bawah pohon (Bai’at Ar-Ridhwan), yang jumlah mereka lebih dari 1.400 orang. (lihat Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi, 2/692)

“Dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”, yaitu orang-orang yang mengikuti mereka dalam mengamalkan agama, baik dalam hal aqidah, perkataan, maupun amalan. Mereka adalah orang yang selamat dari celaan dan mendapatkan pujian serta kemuliaan yang paling afdhal dari Allah. Semoga kita termasuk di antara mereka. Amin. (Taisir Al-Kariim Ar-Rahman, karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, hal. 350)

Penjelasan Ayat

Ayat Allah yang mulia ini merupakan salah satu di antara sekian banyak ayat yang menjelaskan keutamaan para shahabat gdan orang-orang yang berjalan di atas jejak mereka. Mereka mendapatkan keridhaan Allah, di mana puncak keridhaan tersebut adalah dimasukkannya seorang hamba ke dalam jannah-Nya yang telah dipersiapkan oleh Allah, yang di bawahnya mengalir sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya.

Sungguh indah apa yang dituliskan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya tatkala menjelaskan ayat ini. Beliau berkata: “Sungguh Allah Yang Maha Agung telah mengabarkan bahwa Dia telah ridha kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta yang mengikuti mereka dengan baik. Maka celakalah orang yang membenci mereka, mencela mereka, atau membenci dan mencela sebagian mereka. Terlebih lagi terhadap pemimpin para shahabat setelah Rasulullah n dan yang terbaik serta termulia dari mereka yaitu Ash-Shiddiq Al-Akbar dan seorang khalifah yang mulia: Abu Bakar bin Abi Quhafah, sungguh Allah telah meridhainya.

Sesungguhnya ada satu kelompok yang hina dari kalangan Rafidhah yang memusuhi para shahabat, membenci mereka serta mencelanya -kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut. Ini menunjukkan bahwa akal mereka telah terbalik, hati mereka telah berubah. Di manakah keimanan mereka terhadap

Al Quran tatkala mereka mencela orang-orang yang telah Allah ridhai?

Adapun Ahlus Sunnah, mereka senantiasa menyebutkan keridhaan terhadap apa-apa yang telah Allah ridhai dan mereka mencela orang yang mencela Allah dan Rasul-Nya. Mereka bersikap wala terhadap orang yang ber-wala kepada Allah dan memusuhi orang yang memusuhi Allah. Mereka adalah orang yang muttabi’ (mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya-pen) dan bukan mubtadi’ (ahli bid’ah). Mereka senantiasa mengikuti dan tidak mendahului. Mereka inilah kelompok Allah yang mendapatkan kemenangan dan hamba-hamba-Nya yang mukmin.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/384-385, Maktabah Tijariyah)

Di dalam ayat yang mulia ini, Allah menyebutkan tiga tingkatan orang-orang yang mendapatkan kemulian: Kaum Muhajirin, kaum Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka. Untuk dua kelompok yang pertama, mereka telah berlalu. Adapun yang terakhir, masih terbuka jalan bagi siapa saja di kalangan umat ini yang ingin mendapatkan keselamatan.

Sa’d bin Abi Waqqash berkata: “Manusia terdiri dari tiga kedudukan. Telah berlalu dua kedudukan dan tersisa satu kedudukan. Maka perbaikilah amalan yang kalian lakukan agar termasuk dalam kedudukan yang masih tersisa.” Lalu beliau membaca firman-Nya:

“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hasyr: 8)

“Mereka adalah kaum Muhajirin, dan ini satu kedudukan.” Lalu beliau membaca:
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)

Beliau berkata: “Mereka adalah kaum Anshar, dan inipun satu kedudukan yang telah berlalu.” Lalu beliau membaca:

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr:10)

Lalu beliau berkata: “Sungguh telah berlalu dua kedudukan dan tersisa kedudukan ini. Maka perbaikilah amalan yang kalian lakukan agar termasuk dalam kedudukan yang masih tersisa, dengan beristighfar untuk mereka (kaum yang telah berlalu).” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2/484,dan Al-Lalikai dalam Syarah Ushul I’tiqad, 2/2354, cetakan Darul Bashirah dan Darul Atsar)
Jangan Mencela Para Shahabat

Merupakan salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah memuliakan para shahabat dan tidak mencela mereka. Abu Bakar bin Abi Dawud As-Sajastani berkata dalam qashidah-nya:

Dan katakanlah dengan sebaik-baik ucapan terhadap seluruh para shahabat. Dan jangan kalian mencela, menyebut aib, dan mencercanya. Sungguh wahyu yang nyata telah menyebut keutamaan mereka. Dan dalam surat Al-Fath ada beberapa ayat yang memuji para shahabat
(lihat Siyar A’lam An-Nubala, 13/235, cetakan Muassasah Ar-Risalah)

Rasulullah telah melarang umatnya untuk mencela para shahabat Nabi. Beliau bersabda:
“Janganlah kalian mencela para shahabatku. Demi (Allah) yang jiwaku berada ditangan-Nya, kalaulah salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, tidak akan menyamai satu mud (yang mereka infaqkan) dan tidak pula setengahnya.” (Muttafaqun ‘alaihi dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri, dan riwayat Muslim dari hadits Abu Hurairah)

Sangat banyak atsar dari para ulama salaf yang menyebutkan larangan mencela para shahabat serta menyebutkan akibat dan hukuman bagi mereka yang melakukannya. Imamus Sunnah Ahmad bin Hambal berkata: “Jika engkau melihat seseorang menjelek-jelekkan salah seorang shahabat Rasulullah, maka tuduhlah (curigailah) keislamannya.” (Syarah Al-Lalikai, 2/2359)

Al-Lalika`i juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Al-Bahi, ia berkata: Ubaidullah bin ‘Umar (bin Al-Khaththab) mencela Al-Miqdad bin Al-Aswad, maka ‘Umar pun berkeinginan memotong lidahnya. Namun para shahabat berusaha membujuk beliau (agar tidak melakukannya), lalu beliau berkata: “Biarkanlah aku memotong lidah anakku, agar tidak seorang pun setelahku lancang dalam mencela seseorang dari shahabat Rasulullah n.” (Syarah Al-Ushul, 2/2377)
Mughirah berkata: “Juga dikatakan: mencela Abu Bakar dan ‘Umar.” (Syarah Al-Ushul, 2/2387)
Beliau juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Al-Harits bin ‘Utbah, bahwa seseorang yang mencela ‘Utsman (bin ‘Affan) dibawa kepada ‘Umar bin Abdul ‘Aziz, lalu beliau bertanya: “Apa yang menyebabkan engkau mencelanya?” Dia menjawab: “Aku membencinya!” Beliau berkata: “Engkau membenci dan mencelanya?” Lalu beliau memerintahkan agar dia dicambuk 30 kali. (Syarah Al-Ushul, 2/2383)

At-Thahawi berkata dalam membantah kaum Rafidhah dan Nawashib (kaum yang membenci ‘Ali z): “Kami mencintai para shahabat Rasulullah n dan kami tidak berlebih-lebihan dalam mencintai mereka. Kami tidak memusuhi seorangpun dari mereka, dan kami membenci orang yang membenci mereka dan (membenci orang) yang tidak menyebut mereka dengan kebaikan. Kami tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah agama, iman, dan ihsan. Membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan, dan melampaui batas.” (Matan Ath-Thahawiyah, 2/689, bersama syarahnya).

Perhatikanlah sikap dan pendirian para ulama salaf dalam menyikapi orang yang mencela dan merendahkan para shahabat. Sungguh telah muncul pada akhir zaman ini, orang-orang yang apabila mereka hidup di zaman para ulama salaf, niscaya para ulama salaf itu akan mencela mereka, menegakkan hukum had atasnya, dan berlepas diri dari mereka.

Di antara orang yang menampakkan kebenciannya terhadap sebagian shahabat adalah Sayyid Quthb.

Dia berkata dalam salah satu kitabnya yang berjudul Kutub wa Syakhshiyyat: “Sesungguhnya Mu’awiyah dan temannya (yang bernama) ‘Amr (bin Al-’Ash) tidak mengalahkan ‘Ali (bin Abi Thalib) karena mereka lebih memahami trik menarik perhatian atau lebih berpengalaman dalam melakukan tindakan yang bermanfaat dalam situasi yang tepat. Namun (disebabkan) karena mereka bebas dalam menggunakan senjatanya, sedangkan (‘Ali) harus terikat dengan akhlaknya dalam mencari berbagai cara dalam menghadapi pergolakan. Tatkala Mu’awiyah dan temannya menggunakan kedustaan, penipuan, makar, kemunafikan, sogokan, dan menjual harga dirinya, sedangkan ‘Ali tidak mampu condong kepada sesuatu yang sangat rendah itu, maka tidak mengherankan bila keduanya sukses dan ‘Ali gagal. Namun kegagalan itu lebih mulia dari semua kesuksesan tersebut.” (Kutub wa Syakhshiyyat hal. 242. Lihat pula Ijma’ Al-’Ulama ‘ala At-Tahdzir, Khalid Azh-Zhafiri hal. 73)

Lihatlah sikap Sayyid Quthb dalam menyikapi dua shahabat yang mulia ini. Apakah pantas seorang yang dianggap sebagai da’i pembela Islam, tokoh kebangkitan –menurut mereka yang memiliki sikap fanatik kepada tokoh ini– mengeluarkan lafadz-lafadz kotor dan menisbahkannya kepada para shahabat yang mulia g? Sungguh ini merupakan kezaliman yang nyata.

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz telah ditanya tentang makalah ini, maka beliau menjawab: “Perkataan kotor, perkataan kotor, karena ini mencela Mu’awiyah dan ‘Amr bin Al-’Ash. Semua ini ucapan kotor, ucapan mungkar. Mu’awiyah dan ‘Amr adalah mujtahid dan mereka bersalah. Para mujtahid yang bersalah, Allah memaafkan mereka.”
Lalu beliau ditanya lagi: “Semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu, apa yang dicegah dari kitab-kitab ini yang terdapat perkataan semacamnya?” Beliau menjawab: “Sepantasnya disobek.” (lihat kitab Ijma’ Al-’Ulama, Khalid Azh-Zhafiri hal. 74)

Perhatikanlah fatwa Asy-Syaikh bin Baz ini, lalu bandingkan dengan ucapan para Quthbiyyun dan Sururiyyun yang menampakkan pembelaannya terhadap Sayyiq Quthb, dengan berbagai alasan yang dipaksakan: “Kita harus ber-muwazanah,” “Ini adalah kezaliman terhadap Sayyid Quthb,” “Beliau seorang sastrawan,” dan seterusnya. Maka anda akan melihat perbedaan yang sangat jauh antara sikap seorang Salafi dengan seorang “khalafi”. Benarlah apa yang dikatakan oleh seseorang:

Setiap kebaikan dalam mengikuti Salaf, Dan setiap keburukan dalam mengikuti khalaf

Wallahul muwaffiq.

Sumber : www.asysyariah.com/keutamaan-shahabat-dalam-al-quran/

Monday 5 June 2017

SEJENAK DENGAN HADITH - SAHUR


A) Sahur Itu Barakah

 عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ

Dari Abi Said al-Khudri, Rasulullah SAW bersabda: "makan sahur itu barakah, maka janganlah kalian tinggalkan meskipun salah seorang dari kalian hanya minum seteguk air, kerana sesungguhnya Allah 'azza wajalla dan para malaikat-Nya berselawat kepada orang-orang yang makan sahur." (HR Ahmad No: 10664) Status: Hadis Hasan

Pengajaran:

1.  Makan ketika bersahur itu memiliki keberkatan. Antara bentuk barakah dari makan sahur adalah mampu memberikan tenaga, menguatkan semangat, dan meringankan beban bagi mereka yang berpuasa.

2.  Bersahurlah kita  sebagai mengambil barakah atau kebaikan dan kelebihan, walaupun hanya dengan seteguk air.

3.  Allah dan para malaikat berselawat ke atas orang yang makan dan minum untuk bersahur. Selawat Allah ke atas orang yang bersahur adalah pujian-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang bersahur, manakala selawat para malaikat ke atas mereka yang bersahur pula merupakan doa pengampunan dari malaikat buat mereka yang bersahur.

4.  Waktu sahur itu sendiri pula termasuk antara waktu mustajab berdoa, waktu terbaik beribadah, dan waktu diampunkan bagi mereka yang memohon keampunan.

5.  Jadikanlah waktu bersahur kita sebagai satu daripada cara kita mendapat pengampunan dari dosa.


B) Sahur Dengan Kurma Kering

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نِعْمَ سَحُورُ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ

Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW baginda bersabda: Sebaik-baik makanan ketika seseorang mukmin bersahur adalah tamar (kurma kering).” (Hadis Riwayat Abu Daud, 6/290, no. 1998. Shahih Ibnu Hibban, 8/253, no. 3475) Status: Hadis Sahih

Pengajaran:

1.  Bersahur adalah sunnah Rasulullah

2.  Sebaik-baik makanan untuk bersahur adalah kurma kering

3.  Kurma merupakan makanan paling kaya kandungan gula glukosa sekitar 55% gula dalam kurma berbentuk glukosa, sedangkan 45% lagi membentuk fruktosa.

4.  Glukosa dalam kurma akan cepat berubah menjadi fructosa, kemudian diserap melalui sistem pencernaan untuk menjadi tenaga. Khususnya jaringan yang perlu tinggi energi, seperti: sel-sel otak, sel-sel saraf, sel-sel darah merah dan sel-sel tulang belakang.

5.  Selain glukosa, kurma juga mengandung sejumlah lemak, protein, dan beberapa vitamin seperti vitamin A, B2, B12. Kurma mengandung beberapa mineral, terutama kalsium, sulfat, sodium, fosfor, potassium, magnesium, florin, kuningan, manganese, cobalt, zinc, serta sejumlah selulosa

Ayuh jangan tinggalkan kurma kering ketika sahur.


C) Sahur Waktu Mustajab Berdoa

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

Dari Abu Hurairah, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Allah Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada setiap akhir sepertiga malam lalu berfirman, “Siapa sahaja yang berdoa kepada-Ku, maka Aku tunaikan untuknya. Sesiapa sahaja yang meminta kepada-Ku, Aku berikan kepadanya. Sesiapa sahaja yang memohon ampun kepada-Ku, Aku ampunkannya.” (HR Bukhari No:  1077) Status: Hadis Sahih

Pengajaran:

1.  Sepertiga akhir malam adalah waktu istimewa untuk ahli ibadah (sekitar jam 3 pagi hingga sebelum subuh).

2.  Waktu akhir sepertiga malam (waktu sahur) merupakan waktu mustajab doa (doa diperkenan).

3.  Waktu akhir sepertiga malam (waktu sahur) waktu Allah mengampunkan dosa kepada yang memohon keampunan.
وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُون

Ketika waktu sahur (akhir-akhir malam), mereka berdoa memohon keampunan”  (QS. Adz Dzariyat: 18)

4. Rugilah mereka yang bangun di penghujung malam hanya untuk makan sahur atau ke toilet semata-mata.

Ayuh rebut peluang waktu istimewa ini dengan solat sunat seperti tahajud  dan  berdoa serta memohon  keampunan dari dosa.

Jadikan ibadat Ramadan kali ini merubah kehidupan kita.


D) Melewatkan Sahur Menyegerakan Berbuka
 
عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالٍ أَنْتَ يَا بِلَالُ تُؤَذِّنُ إِذَا كَانَ الصُّبْحُ سَاطِعًا فِي السَّمَاءِ فَلَيْسَ ذَلِكَ بِالصُّبْحِ إِنَّمَا الصُّبْحُ هَكَذَا مُعْتَرِضًا ثُمَّ دَعَا بِسَحُورِهِ فَتَسَحَّرَ وَكَانَ يَقُولُ لَا تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا أَخَّرُوا السَّحُورَ وَعَجَّلُوا الْفِطْرَ

Dari Abu Dzar RA bahwa Nabi SAW bersabda pada Bilal: "Wahai Bilal, kalau subuh telah beranjak ke langit maka itu bukanlah subuh, subuh itu nampak seperti ini, " lalu baginda menyuruh untuk sahur dan baginda pun sahur seraya bersabda: "Umatku akan selalu dalam kebaikan selama mengakhirkan sahur dan mempercepat berbuka." (HR. Ahmad No: 20530) Status: Isnad Hasan

Pengajaran:

1.  Rasulullah adalah contoh dalam kita melakukan ibadat termasuk amalan berbuka dan bersahur ketika berpuasa. Ia juga adalah amalan para Nabi.

2.  Antara amalan yang perlu dicontohi ketika berpuasa ialah segera berbuka apabila masuk waktu berbuka.

3.  Melewatkan bersahur juga merupakan amalan Rasulullah dan para sahabat yang kita digalakkan mengikutinya.

4. Waktu sahur dilewatkan seperti yang diceritakan oleh  Anas bin Malik RA dari Zaid bin Tsabit:

تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً

"Kami makan sahur bersama Nabi Muhammad SAW lalu kami solat (subuh) berjamaah", Anas berkata kepada Zaid: "berapa jarak waktu antara azan (subuh) dan sahur?" Zaid menjawab: "sekitar bacaan al-Quran 50 ayat" (HR Bukhari)

Berdasarkan hadis ini,  jarak waktu selesai sahur Nabi SAW dengan waktu subuh sangat dekat, hanya sekitar jangkaan waktu bacaan 50 ayat al-Quran yang dibaca dengan kadar sederhana, tidak cepat dan tidak lambat (sekitar 10 – 15 minit sebelum subuh).

‘Amr B. Maimun al-Audi menyatakan, “Para sahabat Muhammad SAW adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan paling terakhir (lewat) dalam bersahur.” (Ibnu Hajar, Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari, 4/199)

Semoga kita dapat mengikuti sunah Nabi SAW dengan bersegera berbuka apabila masuk waktu dan melewatkan sahur.


Thursday 1 June 2017

TAFSIR SURAT YUSUF AYAT 55


Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal

Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)

 Tafsir Ayat

Ayat ini menerangkan permintaan Yusuf ‘alaihissalaam kepada penguasa di zaman itu untuk mengangkatnya sebagai bendahara yang menjaga gudang perbendaharaan harta negeri, agar keadilan merata dan kezaliman disirnakan. Yusuf ‘alaihissalaam akan menjadikan hal itu sebagai sarana mengajak penduduk negeri tersebut agar beriman kepada Allah ‘azza wa jalladan meninggalkan penyembahan terhadap berhala-berhala.

Yusuf ‘alaihissalaam berkata, “Jadikanlah aku untuk mengawasi khazainul ardh.”

Ungkapan خَزَائِنُ الْأَرْضِ , kata خَزَائِنُ adalah bentuk jamak dari kata .خَزَانَةٌAsalnya adalah sebuah tempat yang digunakan untuk menyimpan sesuatu. Yang dimaksud di sini adalah tempattempat yang dijadikan sebagai gudang harta. (Fathul Qadir, asy-Syaukani)

Yusuf ‘alaihissalaam menawarkan hal ini kepada sang raja ketika dia benar-benar telah mengetahui bahwa Yusuf ‘alaihissalaam terbebas dari segala tuduhan yang dialamatkan kepada beliau sehingga masuk penjara karenanya. Sang raja telah mengetahui keutamaan yang dimiliki oleh Yusuf ‘alaihissalaam, yaitu ilmu, kemuliaan akhlak, kepandaian menakwil mimpi, dan keutamaan.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

Dan raja berkata, “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata, “Sesungguhnya kamu hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami.” (Yusuf: 54)

Ibnu Abi Hatim rahimahullah meriwayatkan dari Syaibah bin Na’amah, dia mengatakan bahwa kata حَفِيظٌ maknanya ialah menjaga apa yang engkau titipkan untuk disimpan, عَلِيمٌ artinya yang mengetahui akan datangnya tahun-tahun paceklik. (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 8, hlm. 51)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Beliau meminta jabatan itu karena tahu kemampuan beliau untuk menunaikan tugas tersebut. Selain itu, beliau juga ingin memberikan kemaslahatan bagi manusia. Beliau hanya meminta untuk menjaga perbendaharaan bumi, berupa piramida-piramida yang menyimpan kumpulan hasil bumi bangsa Mesir, karena mereka akan menyambut tahun-tahun (paceklik) yang diberitakan oleh Yusuf.

Dengan demikian, Yusuf ‘alaihissalaam dapat bertindak dengan cara yang lebih efisien, lebih maslahat, dan lebih terbimbing untuk kepentingan mereka. Maka dari itu, permintaan beliau dikabulkan dengan penuh rasa senang dan pemuliaan terhadap beliau.

Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja yang ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (Yusuf: 56)

Al-Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Yusuf‘alaihissalaam berkata demi kemaslahatan umum, ‘Jadikanlah aku sebagai bendaharawan negara’, yaitu sebagai bendaharawan yang menjaga hasil bumi, sebagai perwakilan, penjaga, dan yang mengurusi.

‘Sesungguhnya aku orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.’Maksudnya, aku mampu menjaga apa yang ditugaskan kepadaku, sehingga tidak sedikit pun yang telantar bukan pada tempatnya. Aku mampu mengatur dengan baik barang yang masuk dan yang keluar, mengetahui cara mengatur, memberi, mencegah, dan bertindak dengan segala macam cara.

Ini bukanlah sikap ketamakan Yusuf ‘alaihissalaam untuk mendapatkan kepemimpinan, melainkan tekad beliau yang kuat untuk memberi manfaat secara umum. Beliau sendiri tahu bahwa beliau memiliki kecukupan, amanah, dan kepandaian menjaga, yang mereka tidak mengetahui hal itu dari beliau. Oleh karena itu, beliau meminta dari sang raja untuk mengangkatnya sebagai bendaharawan gudang harta negeri itu. Sang raja pun mengangkatnya sebagai bendaharawan negara dan memberi kedudukan itu kepadanya.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)

Hukum Mencalonkan Diri Menjadi Pemimpin

Ayat ini lahiriahnya menunjukkan diperbolehkannya seseorang menawarkan diri untuk mengambil sebuah kedudukan yang memang dia memiliki keahlian dalam bidang tersebut. Al-Qurthubi rahimahullah menerangkan, “Ayat ini menunjukkan pula tentang bolehnya seseorang melamar sebuah pekerjaan yang dia memiliki keahlian dalam bidang tersebut.” (Tafsir al-Qurthubi, 11/385)

Asy-Syaukani rahimahullah juga menjelaskan, “Di dalamnya terdapat dalil bagi seseorang yang meyakini jika dirinya masuk ke salah satu urusan pemerintahan akan bisa mengangkat cahaya kebenaran dan menghancurkan kebatilan yang mampu dia lakukan, diperbolehkan meminta hal itu untuk dirinya. Di samping itu, dia boleh menyebutkan sifat-sifat (kelebihan) yang dia miliki yang mendukung tercapainya kemauan, mengundang ketertarikan para penguasa yang akan menyerahkan kendali urusan kepadanya, dan menjadikannya sebagai dasar agar lamarannya diterima.” (Fathul Qadir juz 3, hlm. 49)

Akan tetapi, telah diriwayatkan beberapa hadits yang menunjukkan tercelanya seseorang meminta kedudukan untuk menjadi seorang pemimpin.

Di antaranya adalah hadits Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

“Wahai Abdurrahman bin Samurah, jangan engkau meminta kepemimpinan. Sebab, jika engkau diberi kepemimpinan karena memintanya, sungguh akan diserahkan kepadamu (yakni Allah ‘azza wa jalla tidak akan menolongmu). Namun, jika engkau diberi bukan karena memintanya, engkau akan ditolong (oleh Allah ‘azza wa jalla) untuk mengembannya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama dua orang dari kabilah Asy’ari. Salah satunya di sebelah kananku dan yang lain di sebelah kiriku. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bersiwak, keduanya meminta jabatan.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Abu Musa,” atau beliau berkata, “Wahai Abdullah bin Qais.” Aku menjawab, “Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran, keduanya tidak memberitahuku tentang apa yang ada pada dirinya. Aku tidak menyangka kalau keduanya meminta pekerjaan.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَا نَسْتَعْمِلُ عَلَى عَمَلِنَا مَنْ أَرَادَهُ

“Kami tidak meyerahkan jabatan kami kepada orang yang memintanya.”(Muttafaqun ‘alaihi)

Dalam riwayat al-Bukhari rahimahullah, dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, “Aku menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama dua orang lelaki dari kaumku, salah satunya berkata, ‘Angkatlah kami menjadi pemimpin, wahai Rasulullah.’ Yang lainnya juga mengucapkan hal yang sama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّا لَا نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلاَ مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ

‘Sesungguhnya kami tidak menyerahkan hal ini kepada orang yang memintanya dan yang sangat berharap mendapatkannya’.” (HR. al-Bukhari, no. 6730)

Diriwayatkan pula oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah, dari Abu Hurairahradhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ

“Sesungguhnya kalian berkeinginan kuat untuk mendapatkan kepemimpinan, dan akan menjadi penyesalan pada hari kiamat kelak, nikmat di dunia, namun sengsara di akhirat.” (HR. al-Bukhari, no. 6729)

Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah dari Abu Dzar al-Ghifariradhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau memberiku kedudukan?’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk pundakku dengan tangannya, lalu berkata, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah. Sesungguhnya ini adalah amanat dan sesungguhnya akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang
mengambilnya denganmenunaikan haknya dan menjalankan apa yang menjadi kewajibannya’.” (HR.Muslim, no. 1825)

Hal ini telah dijawab oleh al-Imam al-Qurthubi rahimahullah dari beberapa sisi.

Yusuf ‘alaihissalaam meminta kedudukan karena beliau mengetahui bahwa tidak seorang pun yang mampu menduduki jabatan tersebut dalam hal keadilan, perbaikan, dan pemberian hak-hak orang miskin.

Jadi, ia melihat bahwa hal itu menjadi fardhu ‘ain baginya karena tidak ada orang lain yang mampu melakukannya. Demikian pula hukumnya sekarang, jika seseorang mengetahui bahwa dia mampu menegakkan kebenaran dalam hal menetapkan hukum dan menegakkan kebenaran, serta tidak ada orang lain yang layak dan bisa mengganti kedudukannya, hal ini menjadi wajib baginya. Dia pun wajib menduduki jabatan itu dan memintanya. Dia juga wajib memberitakan tentang sifat-sifat (kelebihan) yang dimilikinya, berupa ilmu, kemampuan, dan lainnya, yang dengannya dia berhak berada pada posisi tersebut, seperti halnya yang dikatakan oleh Yusuf ‘alaihissalaam.

Adapun jika orang lain yang mampu menegakkan dan memperbaikinya, dan dia mengetahui hal tersebut, sebaiknya dia tidak memintanya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jangan engkau meminta kepemimpinan.”

Jika dia memintanya dan bersemangat untuk mendapatkannya—padahal dia tahu bahwa dirinya memiliki banyak kekurangan dan sulit berlepas diri darinya—ini merupakan tanda bahwa dia meminta jabatan itu untuk dirinya dan kepentingan pribadinya. Barang siapa yang demikian keadaannya, tidak lama kemudian hawa nafsu akan menguasainya sehingga dia binasa. Inilah makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan diserahkan kepadanya(tidak akan ditolong oleh Allah ‘azza wa jalla, -pen.).”

Barang siapa enggan mendapatkan kedudukan itu karena mengetahui kekurangan dirinya dan khawatir tidak mampu menegakkan hak-haknya, atau dia berlari meninggalkannya, kemudian dia diberi ujian untuk menanganinya, diharapkan dia mampu keluar dari berbagai problemnya. Inilah makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Dia akan ditolong.’

Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku orang yang mampu menjaga lagi berilmu.”

Jadi, beliau tidak memintanya karena faktor keturunan dan ketampanannya.

Beliau mengucapkan itu saat tidak ada orang yang mengenalnya sehingga merasa perlu untuk memperkenalkan dirinya. Ini adalah pengecualian dari firman Allah ‘azza wa jalla,

“Janganlah kamu mengatakan dirimu suci.” (an-Najm: 32)

Beliau menganggap bahwa hal itu adalah fardhu ‘ain baginya, karena tidak ada orang lain yang mampu. Ini adalah jawaban yang paling tampak kebenarannya.” (Tafsir al-Qurthubi, jilid 11, hlm. 385—386)

Kerusakan Pemilu dalam Demokrasi

Ayat yang kita bahas ini bukanlah dalil yang membenarkan seseorang untuk ikut terjun ke dalam pentas politik demokrasi dan mencalonkan diri untuk mendapat bagian dari jabatan tersebut. Hal ini disebabkan banyak faktor, di antaranya:

Pemilu merupakan bagian dari menyekutukan[1] Allah ‘azza wa jalla, sebab pemilu merupakan bagian dari demokrasi, yang aturannya berasal dari musuh-musuh Islam untuk memalingkan kaum muslimin dari agamanya.Menuhankan suara terbanyak dan menjadikannya sebagai standar kebenaran meskipun Islam menganggapnya sebagai kebatilan; di sisi lain menolak suara minoritas meskipun itu adalah hal yang pasti kebenarannya menurut agama.Menganggap syariat Islam itu kurang dalam menetapkan peraturan di tengah-tengah manusia, sehingga merasa butuh dengan sistem demokrasi yang jelas-jelas bukan berasal dari Islam.Menyebabkan pudarnya sikap al-wala wal-bara (loyalitas dan kebencian) berdasarkan Islam.Tunduk kepada undang-undang sekuler.Hanya memberi kemaslahatan kepada musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi dan Nasrani.Menyebabkan semakin terpecah belahnya kaum muslimin dengan terbentuknya partai-partai yang sering kali berupaya saling menjatuhkan.

Masih banyak lagi kerusakan-kerusakan pemilu yang merupakan bagian penting dari sistem demokrasi tersebut.

Al-Allamah Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah ditanya, “Apakah mengikuti pemilu/masuk parlemen merupakan wasilah yang disyariatkan untuk menolong agama atau tidak?”

Beliau menjawab, “Tidak.” (al-Fatawa al-Jaliyyah ‘anil Manahij ad-Da’wiyah, hlm. 25)

Selain itu, beliau mengatakan bahwa termasuk di antara bentuk penipuan dengan suara terbanyak adalah yang disebut pemilu, pencalonan diri, atau yang semisalnya. Siapa yang berhasil meraih suara terbanyak, dia yang diutamakan untuk diangkat, meskipun dia termasuk manusia yang paling buruk. Ini adalah metode orang-orang kafir yang mereka gunakan untuk menetapkan pemimpin negara, menteri, atau yang lainnya. (al-Amali an-Najmiyah ‘ala Masail al-Jahiliyah, no. 12)

Wallahul Muwaffiq.