Search This Blog

Wednesday 14 June 2017

TAFSIR SURAH AT TAUBAH AYAT 100


Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka jannah (surga-surga) yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah:100)

Penjelasan Mufradat Ayat

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)”, yaitu para pendahulu umat ini yang mereka bersegera dalam beriman, berhijrah, dan berjihad, serta menegakkan agama Allah.
“Orang-orang Muhajirin”, yaitu orang-orang yang disebutkan sifatnya oleh Allah dalam firman-Nya:

“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”(Al-Hasyr: 8)

“Orang-orang Anshar”, yaitu orang-orang yang telah disebutkan sifatnya oleh Allah dalam firman-Nya:

“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada memiliki keinginan di dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)

Mereka semua tergolong ke dalam As-Sabiqunal Awwalun, yaitu orang-orang yang berinfaq sebelum Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) dan mereka juga orang-orang yang berperang, termasuk orang-orang berbai’at di bawah pohon (Bai’at Ar-Ridhwan), yang jumlah mereka lebih dari 1.400 orang. (lihat Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi, 2/692)

“Dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”, yaitu orang-orang yang mengikuti mereka dalam mengamalkan agama, baik dalam hal aqidah, perkataan, maupun amalan. Mereka adalah orang yang selamat dari celaan dan mendapatkan pujian serta kemuliaan yang paling afdhal dari Allah. Semoga kita termasuk di antara mereka. Amin. (Taisir Al-Kariim Ar-Rahman, karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, hal. 350)

Penjelasan Ayat

Ayat Allah yang mulia ini merupakan salah satu di antara sekian banyak ayat yang menjelaskan keutamaan para shahabat gdan orang-orang yang berjalan di atas jejak mereka. Mereka mendapatkan keridhaan Allah, di mana puncak keridhaan tersebut adalah dimasukkannya seorang hamba ke dalam jannah-Nya yang telah dipersiapkan oleh Allah, yang di bawahnya mengalir sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya.

Sungguh indah apa yang dituliskan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya tatkala menjelaskan ayat ini. Beliau berkata: “Sungguh Allah Yang Maha Agung telah mengabarkan bahwa Dia telah ridha kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta yang mengikuti mereka dengan baik. Maka celakalah orang yang membenci mereka, mencela mereka, atau membenci dan mencela sebagian mereka. Terlebih lagi terhadap pemimpin para shahabat setelah Rasulullah n dan yang terbaik serta termulia dari mereka yaitu Ash-Shiddiq Al-Akbar dan seorang khalifah yang mulia: Abu Bakar bin Abi Quhafah, sungguh Allah telah meridhainya.

Sesungguhnya ada satu kelompok yang hina dari kalangan Rafidhah yang memusuhi para shahabat, membenci mereka serta mencelanya -kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut. Ini menunjukkan bahwa akal mereka telah terbalik, hati mereka telah berubah. Di manakah keimanan mereka terhadap

Al Quran tatkala mereka mencela orang-orang yang telah Allah ridhai?

Adapun Ahlus Sunnah, mereka senantiasa menyebutkan keridhaan terhadap apa-apa yang telah Allah ridhai dan mereka mencela orang yang mencela Allah dan Rasul-Nya. Mereka bersikap wala terhadap orang yang ber-wala kepada Allah dan memusuhi orang yang memusuhi Allah. Mereka adalah orang yang muttabi’ (mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya-pen) dan bukan mubtadi’ (ahli bid’ah). Mereka senantiasa mengikuti dan tidak mendahului. Mereka inilah kelompok Allah yang mendapatkan kemenangan dan hamba-hamba-Nya yang mukmin.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/384-385, Maktabah Tijariyah)

Di dalam ayat yang mulia ini, Allah menyebutkan tiga tingkatan orang-orang yang mendapatkan kemulian: Kaum Muhajirin, kaum Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka. Untuk dua kelompok yang pertama, mereka telah berlalu. Adapun yang terakhir, masih terbuka jalan bagi siapa saja di kalangan umat ini yang ingin mendapatkan keselamatan.

Sa’d bin Abi Waqqash berkata: “Manusia terdiri dari tiga kedudukan. Telah berlalu dua kedudukan dan tersisa satu kedudukan. Maka perbaikilah amalan yang kalian lakukan agar termasuk dalam kedudukan yang masih tersisa.” Lalu beliau membaca firman-Nya:

“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hasyr: 8)

“Mereka adalah kaum Muhajirin, dan ini satu kedudukan.” Lalu beliau membaca:
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)

Beliau berkata: “Mereka adalah kaum Anshar, dan inipun satu kedudukan yang telah berlalu.” Lalu beliau membaca:

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr:10)

Lalu beliau berkata: “Sungguh telah berlalu dua kedudukan dan tersisa kedudukan ini. Maka perbaikilah amalan yang kalian lakukan agar termasuk dalam kedudukan yang masih tersisa, dengan beristighfar untuk mereka (kaum yang telah berlalu).” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2/484,dan Al-Lalikai dalam Syarah Ushul I’tiqad, 2/2354, cetakan Darul Bashirah dan Darul Atsar)
Jangan Mencela Para Shahabat

Merupakan salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah memuliakan para shahabat dan tidak mencela mereka. Abu Bakar bin Abi Dawud As-Sajastani berkata dalam qashidah-nya:

Dan katakanlah dengan sebaik-baik ucapan terhadap seluruh para shahabat. Dan jangan kalian mencela, menyebut aib, dan mencercanya. Sungguh wahyu yang nyata telah menyebut keutamaan mereka. Dan dalam surat Al-Fath ada beberapa ayat yang memuji para shahabat
(lihat Siyar A’lam An-Nubala, 13/235, cetakan Muassasah Ar-Risalah)

Rasulullah telah melarang umatnya untuk mencela para shahabat Nabi. Beliau bersabda:
“Janganlah kalian mencela para shahabatku. Demi (Allah) yang jiwaku berada ditangan-Nya, kalaulah salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, tidak akan menyamai satu mud (yang mereka infaqkan) dan tidak pula setengahnya.” (Muttafaqun ‘alaihi dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri, dan riwayat Muslim dari hadits Abu Hurairah)

Sangat banyak atsar dari para ulama salaf yang menyebutkan larangan mencela para shahabat serta menyebutkan akibat dan hukuman bagi mereka yang melakukannya. Imamus Sunnah Ahmad bin Hambal berkata: “Jika engkau melihat seseorang menjelek-jelekkan salah seorang shahabat Rasulullah, maka tuduhlah (curigailah) keislamannya.” (Syarah Al-Lalikai, 2/2359)

Al-Lalika`i juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Al-Bahi, ia berkata: Ubaidullah bin ‘Umar (bin Al-Khaththab) mencela Al-Miqdad bin Al-Aswad, maka ‘Umar pun berkeinginan memotong lidahnya. Namun para shahabat berusaha membujuk beliau (agar tidak melakukannya), lalu beliau berkata: “Biarkanlah aku memotong lidah anakku, agar tidak seorang pun setelahku lancang dalam mencela seseorang dari shahabat Rasulullah n.” (Syarah Al-Ushul, 2/2377)
Mughirah berkata: “Juga dikatakan: mencela Abu Bakar dan ‘Umar.” (Syarah Al-Ushul, 2/2387)
Beliau juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Al-Harits bin ‘Utbah, bahwa seseorang yang mencela ‘Utsman (bin ‘Affan) dibawa kepada ‘Umar bin Abdul ‘Aziz, lalu beliau bertanya: “Apa yang menyebabkan engkau mencelanya?” Dia menjawab: “Aku membencinya!” Beliau berkata: “Engkau membenci dan mencelanya?” Lalu beliau memerintahkan agar dia dicambuk 30 kali. (Syarah Al-Ushul, 2/2383)

At-Thahawi berkata dalam membantah kaum Rafidhah dan Nawashib (kaum yang membenci ‘Ali z): “Kami mencintai para shahabat Rasulullah n dan kami tidak berlebih-lebihan dalam mencintai mereka. Kami tidak memusuhi seorangpun dari mereka, dan kami membenci orang yang membenci mereka dan (membenci orang) yang tidak menyebut mereka dengan kebaikan. Kami tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah agama, iman, dan ihsan. Membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan, dan melampaui batas.” (Matan Ath-Thahawiyah, 2/689, bersama syarahnya).

Perhatikanlah sikap dan pendirian para ulama salaf dalam menyikapi orang yang mencela dan merendahkan para shahabat. Sungguh telah muncul pada akhir zaman ini, orang-orang yang apabila mereka hidup di zaman para ulama salaf, niscaya para ulama salaf itu akan mencela mereka, menegakkan hukum had atasnya, dan berlepas diri dari mereka.

Di antara orang yang menampakkan kebenciannya terhadap sebagian shahabat adalah Sayyid Quthb.

Dia berkata dalam salah satu kitabnya yang berjudul Kutub wa Syakhshiyyat: “Sesungguhnya Mu’awiyah dan temannya (yang bernama) ‘Amr (bin Al-’Ash) tidak mengalahkan ‘Ali (bin Abi Thalib) karena mereka lebih memahami trik menarik perhatian atau lebih berpengalaman dalam melakukan tindakan yang bermanfaat dalam situasi yang tepat. Namun (disebabkan) karena mereka bebas dalam menggunakan senjatanya, sedangkan (‘Ali) harus terikat dengan akhlaknya dalam mencari berbagai cara dalam menghadapi pergolakan. Tatkala Mu’awiyah dan temannya menggunakan kedustaan, penipuan, makar, kemunafikan, sogokan, dan menjual harga dirinya, sedangkan ‘Ali tidak mampu condong kepada sesuatu yang sangat rendah itu, maka tidak mengherankan bila keduanya sukses dan ‘Ali gagal. Namun kegagalan itu lebih mulia dari semua kesuksesan tersebut.” (Kutub wa Syakhshiyyat hal. 242. Lihat pula Ijma’ Al-’Ulama ‘ala At-Tahdzir, Khalid Azh-Zhafiri hal. 73)

Lihatlah sikap Sayyid Quthb dalam menyikapi dua shahabat yang mulia ini. Apakah pantas seorang yang dianggap sebagai da’i pembela Islam, tokoh kebangkitan –menurut mereka yang memiliki sikap fanatik kepada tokoh ini– mengeluarkan lafadz-lafadz kotor dan menisbahkannya kepada para shahabat yang mulia g? Sungguh ini merupakan kezaliman yang nyata.

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz telah ditanya tentang makalah ini, maka beliau menjawab: “Perkataan kotor, perkataan kotor, karena ini mencela Mu’awiyah dan ‘Amr bin Al-’Ash. Semua ini ucapan kotor, ucapan mungkar. Mu’awiyah dan ‘Amr adalah mujtahid dan mereka bersalah. Para mujtahid yang bersalah, Allah memaafkan mereka.”
Lalu beliau ditanya lagi: “Semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu, apa yang dicegah dari kitab-kitab ini yang terdapat perkataan semacamnya?” Beliau menjawab: “Sepantasnya disobek.” (lihat kitab Ijma’ Al-’Ulama, Khalid Azh-Zhafiri hal. 74)

Perhatikanlah fatwa Asy-Syaikh bin Baz ini, lalu bandingkan dengan ucapan para Quthbiyyun dan Sururiyyun yang menampakkan pembelaannya terhadap Sayyiq Quthb, dengan berbagai alasan yang dipaksakan: “Kita harus ber-muwazanah,” “Ini adalah kezaliman terhadap Sayyid Quthb,” “Beliau seorang sastrawan,” dan seterusnya. Maka anda akan melihat perbedaan yang sangat jauh antara sikap seorang Salafi dengan seorang “khalafi”. Benarlah apa yang dikatakan oleh seseorang:

Setiap kebaikan dalam mengikuti Salaf, Dan setiap keburukan dalam mengikuti khalaf

Wallahul muwaffiq.

Sumber : www.asysyariah.com/keutamaan-shahabat-dalam-al-quran/

No comments:

Post a Comment